Dr Suratno, Dosen Universitas Paramadina Jakarta dan Wakil Sekretaris Lakpesdam PBNU.
Minggu lalu, saya diundang untuk menceramahi orang tua wali murid di sebuah sekolah tentang bagaimana anak muda (siswa dan mahasiswa) bisa terpapar ideologi dan aktivisme ekstrimisme-kekerasan. Padahal, sebelum-sebelumnya mereka adalah siswa/mahasiswa yang biasa-biasa aja. Tidak ada tanda-tanda akan jadi ekstrimis.
Untuk menyiapkan materi, saya menggunakan beberapa referensi terkait. Salah satunya buku alm. Pak Sarlito Wirawan Sartono “Terorisme di Indonesia: Dalam tinjauan psikologi” (2012). Kebetulan alm Pak Sarlito sendiri dulu sangat membantu saya dalam proses penyelesaian disertasi doktoral saya di Uni-Frankfurt tentang Antropologi Tobat.
Satu pelajaran dari alm Pak Sarlito yang selalu saya ingat adalah tentang bagaimana kelompok ekstremis merekruit dan mencuci otak generasi muda untuk dijadikan martir/tumbal kepentingan kelompok itu. Menurut beliau ada 9 ciri brainwashing kelompok ekstremis yang perlu diperhatikan para guru dan orang tua.
Pertama, kelompok ekstremis menanamkan ideologi kekerasan dan kebencian pada pemerintah. Bahwa pemerintah itu thaghut, setan yang harus diperangi, karena tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar negara. Pemerintah manapun dan siapapun yang tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar negara berarti melawan Tuhan jadi harus dijauhi dan bahkan dilawan.
Kedua, para siswa yang sudah berhasil direkrut atau mulai tertarik dengan kelompok ekstremis menolak nyanyi lagu-lagu kebangsaan, apalagi upacara hormat bendera. Kalaupun mereka melakukan itu hanya untuk cari selamat, tapi hatinya mengumpat. Mereka menolak tradisi, budaya, etika berbangsa dan itu dibedakan dari ritual agama.
Ketiga, ikatan emosional para siswa pada ustadz dan senior dikelompok ekstrimis lebih kuat dibanding ikatan pada keluarga dan almamaternya (guru, kepala sekolah, dll).
Keempat, pengajian dan kaderisasi kelompok ekstrimis cenderung tertutup. Awalnya bisa terbuka kalau topiknya masih agak umum. Tapi topik spesifik ideologi ekstrimis diberikan dilorong-lorong sekolah sehingga terkesan study-club, atau bahkan di luar sekolah dengan cara outbond, mereka sebut rihlah dengan agenda utama renungan dan bai’at.
Kelima, bagi yang sudah masuk kelompok kadang harus bayar uang untuk pembersihan dosa. Makin besar dosa-dosanya, makin besar juga uang penebusannya.
Keenam, ada diantara mereka yang pakai pakaian khas (katanya paling sesuai ajaran Islam) dan bersikap sinis terhadap yang lain.
Ketujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasik dan kafir sebelum berhijrah atau bergabung dengan mereka.
Kedelapan, mereka enggan dengar ceramah agama dan buku-buku di luar kelompoknya. Meski pemahaman agama masih dangkal, mereka merasa punya keyakinan agama yang paling benar, jadi mereka meremehkan dan membenci ustadz dan ulama-ulama di luar kelompoknya.
Kesembilan, diantara mereka ada yang lalu keluar dari kelompok ekstrimis karena banyak bergaul, banyak baca, diskusi kritis dengan ustadz dan intelektual di luar kelompoknya. Tapi ada juga yang makin kukuh keyakinannya pada ideologi kelompok ekstrimis.
Kesepuluh, ini tambahan dari saya, bahwa proses cuci otak saat sekarang massif juga dilakukan lewat internet dan sosmed. Selain efektif juga jangkauannya luas dan to some extent lebih rahasia sehingga tidak mudah diketahui orang lain seperti orang tua, guru dan bahkan polisi.
Bahkan sekarang ada istilah self-radicalization yakni anak muda meradikalisasi dirinya sendiri lewat internet. Belajar ideologi ekstrimisme kekerasan, belajar merakit bom, menentukan serangan dan strateginya, bahkan sampai melakukan serangannya juga sendiri. Pelakunya disebut dengan istilah a lone-fighter, karena melakukannya secara dan atas nama sendiri, tidak terkait langsung kelompok ekstrimis yang sudah ada. Jadi bukan anggota paling sekedar simpatisan or being inspired.
Semoga manfangat dan berkah. Selamat beribadah bulan Romadhon. Selamatkan anak-anak dan adik-adik kita dari brainwashing/cuci otak oleh kelompok ekstrimisme-kekerasan.
Danke