Telah menjadi suatu kenyataan bahwa sering wanita yang melakukan ibadah haji dan umrah ketika pulang dari Mekkah mengalami haid (mani’ samawi).
Tentunya hal ini memiliki landasan nash syar’iy:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Manusia (yang menunaikan ibadah haji) diperintahkan agar mengakhiri dengan tawaf di Baitullah, kecuali wanita yang sedang haid diberi keringanan (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini termasuk lafal ‘amm yuradu bih al-khushush (umum yang direduksi) dengan indikasi adanya ‘illa’ sebagai bentuk menghilangkan keumumanya. Yakni setiap orang melakukan ibadah haji dan umrah wajib mengakhiri dengan tawaf wada’ (perpisahan). Sementara bagi wanita yang sedang haid/ nifas tidak wajib mengakhiri dengan tawaf wada’.
Pengecualian ini sangat logis karena adanya illat hukum yaitu: tidak suci karena suci termasuk syarat sahnya tawaf atau larangan wanita masuk ke masjid. Nampaknya illat yang dapat dijadikan landasan hukum adalah tidak suci untuk melakukan tawaf, sebagaimana diperkuat dengan pendapat Imam an-Nawawi:
“قال الإمام النووى :ليس على الحائض ولا على النفساء طواف وداع ولا دم عليها لتركه لانها ليست مخاطبة به للحديث السابق لكن يستحب لها ان تقف على باب المسجد الحرام وتدعو”
Al-Iman al-Nawawi berkata: “Wanita yang sedang haid atau nifas, mereka tidak wajib melakukan tawaf wada’ dan tidak terkena dam karena tidak diperintahkan sesuai hadis sebelumnya tapi sunnah berdiri di depan pintu masjid al-Haram sambil berdoa” (al-Majmu’ , t. th: VIII/255).
Mojosari, 17 Juli 2019
Oleh: Nawawi Thabrani, Situbondo.