Fenomena “kafara-yukaffiru-kufran”
Dalam beberapa tahun terakhir ini sesungguhnya kita sudah mulai memiliki budaya profesional yang salah satu bentuknya adalah sikap tahu diri, bersedia mengakui keterbatasan diri sendiri pada bidang ilmu & keahlian yang tak dikuasainya, lalu menyerahkan segala urusan kepada para ahlinya agar tujuan-tujuan kita dapat tercapai secara efektif.
Namun sikap profesional itu tampaknya kurang berlaku pada keahlian bidang keagamaan, terbukti banyak orang yang belum mencapai kompetensi ilmu keagamaan yang memadai, berpendapat mengenai tafsir ayat atau hadis dan bertabligh secara terbuka di ruang-ruang publik. Untuk kasus semacam ini, wacana perlunya sertifikasi muballigh atau penceramah agama tampaknya bukan ide yang terlalu buruk. Lha wong tukang pasang batako saja kini perlu memiliki sertifikat kompetensi.
Atau,
apakah kita akan membiarkan fenomena “kafara-yukaffiru-kufran” dan sejenisnya itu terus-menerus berkeliaran mengitari ruang keagamaan & kebangsaan kita serta mengotori hati putih nan lembut umat yang kita cintai ini?
Penulis: H. Abdul Halim Muslih, Wakil Bupati Bantul.