Saat ini NU menghadapi tantangan eksternal dan internal. Di tingkat eksternal, intoleransi muncul dan menjadi isu yang terus menggelinding di masyarakat, yang berpotensi menimbulkan keresahan. Demikian disampaikan oleh Prof. Ir. KH. Mochammad Maksum, M.Sc, Wakil Ketua PBNU ketika memberikan sambutan dalam acara Pembukaan Konferwil ke-14 PWNU DIY di Pondok Pesantren Daarul Qur’an Gunungkidul, Sabtu siang (17/12).
“Kemarin saya ditanya soal fenomena intoleransi yang marak. Saya tanya balik pada media, intoleransi yang mana? Faktual di lapangan memang terjadi. Tapi mari kita lihat sampai ke akarnya dengan kajian yang mendalam. Dalam kajian kami, intoleransi yang muncul di daerah-daerah, ini akibat dari ketidak adilan pembangunan. Bagi daerah yang pembangunannya relatif adil, maka tidak ada masalah. Di DIY misalnya, tidak ada masalah,” papar Prof. Maksum.
Kalau menengok daerah lain, lanjut Prof. Maksum, ketidakadilan telah menyingkirkan masyarakat dari akses ekonomi. Maka muncul sentimen, apalagi ketika fakta di lapangan yang kaya justru pendatang, sementara warga lokal miskin. Begitu juga yang kaya adalah non-muslim, sementara yang muslim miskin. “Karena inilah muncul kelompok-kelompok yang intoleran.”
Prof. Maksum kemudian mengingatkan bahwa dalam lembaran sejarah, bangsa ini memiliki basic yang toleran karena didirikan oleh berbagai macam suku dan agama. Bahkan sangat syar’i karena turut didirikan pula oleh para ulama. Sayangnya, sejarah para ulama dalam mengawal NKRI tidak pernah ditulis dalam sejarah Indonesia. Kiai Wahab mengarang lagu Ya Lal Wathon tidak muncul. Bahkan Resolusi Jihad tidak ada dalam sejarah Indonesia.
Terkait problem internal NU, ada tiga persoalan besar yang dihadapi. Pertama, tata kelola keorganisasian. Kedua, ideologisasi aswaja, bagaimana aswaja senantiasa didengungkan sebagai landasan fikrah nahdliyyah, harakah nahdliyyah, dan amal nahdliyyah. Sedangkan problem ketiga adalah khidmat kemasyarakatan, terutama bagaimana NU turut mengawal persoalan ketidak adilan ekonomi. (Anas)