Utilitas Blockchain dan Aset Kripto: Tanggapan untuk Gus Wahab (II)

Utilitas Blockchain dan Aset Kripto

Utilitas Blockchain dan Aset Kripto: Tanggapan untuk Gus Wahab (II).

Oleh:

  • Dr. KH. M. Anis Mashduqi, Sekretraris LBM PWNU DIY.
  • Dimaz Ankaa Wijaya, Ph.D., Honorary Research Fellow di Universitas Deakin, Australia.

Crypto dan Currency: Peran Sistem Ekonomi dalam Blockchain Publik

Istilah cryptocurrency memiliki dua bagian: crypto berurusan dengan teknologi (kriptografi), sementara currency berhubungan dengan insentif ekonomi. Bagian teknologi telah tuntas dijelaskan dan kini akan dibahas bagian ekonomi dari cryptocurrency. Bagian ini akan menjelaskan bagaimana proses ekonomi sehingga aset kripto muncul dan menjelaskan karakter transaksi aset kripto yang lebih compatible dengan beberapa prinsip hukum Islam (fikih) daripada transaksi terpusat atau melalui pihak ketiga.

Prinsip-prinsip ekonomi dalam hukum Islam sudah teramat jelas dirumuskan oleh para ulama dalam berbagai literasi kitab kuning. Segala bentuk aktifitas ekonomi harus menyesuaikan dengan syarat-syarat transaksi (akad) yang ada. Di antaranya adalah syarat kerelaan (al-taradli), kepemilikan atas barang (al-bai’ min malik), harga yang transparan (ma’lum al-tsaman), dan lain sebagainya. Transaksi yang melibatkan pihak ketiga kadang menjadi kelemahan dalam memenuhi syarat-syarat di atas. Banyak transaksi melaui pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya gharar dan juhalah sehingga merugikan salah satu pihak. Aset kripto menawarkan diri sebagai platform ekonomi dengan sistem peer to peer. Kecepatan transaksi menggunakan aset kripto juga lebih compatible dengan syarat yadan bi yadin (cash).

Dalam hal ini, aset kripto yang dibangun di atas infrastruktur blockchain publik sangat menarik karena tidak dikendalikan oleh pihak ketiga atau sentral manapun. Artinya, infrastruktur ini harus berjalan sepenuhnya secara mandiri dan berbasiskan protokol komputer semata tanpa campur tangan berlebihan dari manusia. Untuk memastikan bahwa infrastruktur dapat berjalan secara kontinu dan berkelanjutan, perlu dibuat sebuah sistem ekonomi yang memberikan insentif pada penyedia jasa infrastruktur blockchain publik tersebut. Sistem ekonomi tersebut tentu saja harus independen dari campur tangan manusia, dan dengan demikian muncullah sistem mata uang dalam infrastruktur blockchain publik, atau juga disebut sebagai aset kripto. Hal ini adalah ujroh (kompensasi) dalam akad ijaroh yang diperbolehkan. Ujroh itu disepakati dan terprogram sedemikian rupa, berupa aset kripto yang memiliki nilai di antara mereka dan meluas dalam komunitas besar seperti sekarang ini.

Aset kripto ini merupakan satu-satunya cara untuk membayar jasa penyedia infrastruktur dalam blockchain publik. Tentang bagaimana model emisi aset kripto ini dan sirkulasi aset kripto di dalam lingkup internal sistem blockchain publik, semuanya bergantung pada masing-masing sistem blockchain. Bitcoin misalnya, memilih sistem ekonomi Austrian yang merupakan sistem deflasional, di mana pencetakan uang dilakukan secara terbatas. Ada pula sistem blockchain yang menganut asas inflasional, di mana emisi aset kripto dilakukan secara terus-menerus. Pilihan sistem keuangan yang diterapkan dalam infrastruktur blockchain publik mempengaruhi bagaimana sistem dijalankan, namun layanan infrastruktur tersebut tetap tersedia bagi pengguna.

Perbedaan antara sistem deflasional dan inflasional menarik untuk diulas, tetapi hal ini menjadi ranah para pakar ekonomi. Buku “The Bitcoin Standard” milik Saifedean Ammous bisa menjadi pilihan. Atau juga buku bertema sejarah, “Sapiens: A Brief History of Humankind” dari Yuval Noah Harari yang salah satu isinya bercerita tentang sejarah uang. Demikian juga tentang perubahan “cryptocurrency” menjadi “cryptoasset”, merupakan topik menarik tetapi tidak termasuk ruang lingkup pembahasan ini. Yang jelas, di masa lampau kita pernah memiliki koin emas yang bertindak sebagai uang, meski saat ini emas diperlakukan sebagai aset yang dipengaruhi oleh sifat apresiatif (meningkat) material emas. Dalam hukum Islam, fluktuasi harga merupakan fenomena ekonomi yang dipebolehkan sebagaimana narasi Urwah ibn Zubair dan Zubair ibn Al-Awam yang menjual aset mereka berlipat ganda sedangkan Nabi tidak melarangnya.

Bitcoin diciptakan dengan ide membangun mata uang alternatif sebagai respons terhadap resesi keuangan tahun 2008 dan hutang yang berkembang di sekitar dolar AS. Harapannya adalah untuk menciptakan sistem keuangan alternatif yang tangguh terhadap perubahan sosial-ekonomi dan konflik geo-politik setelah emas, dolar dan mata uang fiat sekarang ini. Sistem keuangan yang sekarang ini ada masih menyisakan pekerjaan mengenai gharar, privasi, keharusan cash, keamanan dari penipuan dan pembobolan yang sering terjadi. Gagasan di balik Bitcoin sederhana, yaitu mata uang alternatif yang terdesentralisasi. Keraguan Gus Wahab tentang eksistensi aset kripto yang memiliki potensi gharar karena hacking, blocking, ditutupnya web exchange menjadi tidak relevan. Sistem transaksi aset kripto dibangun secara peer to peer dan terjamin keamanannya oleh teknologi kriptografi. Selama 10 tahun terakhir, Bitcoin telah menunjukkan ketahanannya. Aset kripto ini mengalami perkembangan pesat baik dalam adopsi masyarakat, penggunaan, dan juga peningkatan nilai.

Aset Kripto dan Mata Uang

Tak dapat dipungkiri, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa aset kripto seperti Bitcoin memang diilhami oleh ide bahwa sistem pembayaran seharusnya lepas dari campur tangan pihak ketiga. Satoshi Nakamoto juga berpendapat bahwa privasi adalah hak asasi yang seharusnya dijamin oleh sistem keuangan. Gerakan cypherpunk yang populer di tahun 1970-an bertujuan untuk mewujudkan sistem keuangan dengan dua karakteristik ini. Dimulai dari pengembangan sistem blind signature milik David Chaum, b money oleh Wei Dai, dan kemudian muncullah Bitcoin sebagai sistem yang mampu menawarkan fitur-fitur yang diinginkan oleh kaum cypherpunk.

Oleh karena itu, selain digunakan untuk membayar biaya infrastruktur yang digunakan untuk menyimpan data, Bitcoin juga dapat dipandang sebagai infrastruktur pembayaran. Infrastruktur pembayaran di sini berarti bahwa peralihan “uang” atau aset digital dari satu pihak ke pihak lain harus difasilitasi sedemikian rupa sehingga:

  • Aset digital tersebut sudah tidak lagi berada dalam penguasaan pengirim.
  • Aset digital tersebut kini dapat digunakan hanya oleh penerima.
  • Tidak ada pihak yang dapat menciptakan aset digital tanpa melalui protokol yang berlaku.
  • Tidak ada pihak yang dapat membatalkan transaksi aset digital secara sepihak pada saat transaksi tersebut sudah selesai diproses oleh sistem.

Tentang apakah Bitcoin (atau aset kripto lain) diakui sebagai alat pembayaran yang sah di suatu negara, tentu saja tergantung dari kebijakan dari negara tersebut. Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY merumuskan hukum bahwa aset kripto bisa menjadi komoditi (sil’ah) dan alat tukar (al-nuqud) karena sesuai dengan definisi komoditi dan alat tukar yang ada dalam hukum Islam, meski lebih spesifik sebagai mata uang (al-’umlah) ia bergantung kepada otorisasi pemerintah. Sebagai komoditi dan alat tukar, aset kripto diakui dan digunakan oleh banyak kalangan, memiliki nilai, bisa diserah-terimakan, dan bisa diketahui sifat dan jumlahnya.

El Savador merupakan negara kecil di kawasan Amerika Tengah yang mengubah peta politik aset kripto di seluruh dunia. Di bawah pemerintahan Presiden Nayib Bukele, El Savador berubah menjadi negara yang ramah aset kripto dalam waktu yang sangat singkat. Per tanggal 7 September 2021, Bitcoin menjadi alat pembayaran yang sah di negara ini, di samping dolar Amerika Serikat yang berlaku. Atas kebijakan nasional dari El Savador ini, kita dapat mengatakan bahwa Bitcoin adalah mata uang asing, layaknya kita memandang dolar Amerika Serikat sebagai mata uang asing. Bitcoin kini bukan lagi sekedar “cryptoasset”, melainkan benar-benar menjelma sebagai “cryptocurrency” atau mata uang kripto.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *