Ulama di Media Sosial, Seperti Apa?

Ulama di Media Sosial

Percepatan dunia digital telah menjadi jalan yang paling mudah untuk menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan. Salah satunya ilmu agama. Orang-orang tidak lagi datang langsung menemui guru-guru di majelis-majelisnya, entah karena kesibukan yang padat atau keperluan lainnya. Hal-hal inilah yang menjadikan orang-orang mudah belajar agama melalui media sosial. Akan tetapi, dengan mudahnya serta cepatnya belajar agama melalui media sosial, banyak dari masyarakat dengan cepatnya merasa sudah puas dan terpenuhi ilmu-ilmu agamanya. Pada akhirnya masyarakat yang seperti ini berujung pada fanatisme dan taklid buta.

Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang awalnya berniat belajar agama Islam di media sosial, justru mereka terjerumus jauh dari nilai-nilai Islam. Contoh sederhananya, beberapa bulan lalu banyak generasi milenial yang lebih menyukai kajian-kajian bernuansa pemberontakan yang dibungkus dengan literatur jihad. Memang, hal-hal seperti ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya oleh masyarakat yang belajar agama melalui media sosial. Di antara faktor-faktor penting lainnya, minimnya ulama yang mempunyai kapasitas serta kulitas dalam bidang agama menyebarkan Islam yang sesuai dengan produk aslinya, rahmatallila’lamiin terjun ke dunia maya.

Dengan adanya media sosial yang cepat, sarana untuk menyebarkan agama Islam harus tidak kalah cepatnya. Ulama, ustadz-ustadz, praktisi serta para aktivis harus mengambil langkah yang komprehensif dan simple. Bayangkan saja, “video dakwah” dengan durasi satu menit kurang lebih, mampu menarik ribuan bahkan ratusan viewers ketimbang kajian Islam yang bermenit-menit hingga berjam-jam. Padahal belum tentu video tersebut menyebarkan Islam rahmatallila’lamiin, bahkan tidak sedikit yang bernuansa makar.

Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah lemahnya kualitas literasi. Dilansir dari penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organition for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara. Jadi tidak menjadi hal yang aneh, jika masyarakat kita mudah termakan hoax, hate speech dan ajaran radikalisme. Karena kelompok-kelompok pemecah bangsa inilah menjadikan media sosial sebagai pasar.

Maka dari itu, peran Ulama menjadi hal yang stratetgis untuk meminimalisir hal-hal tersebut. Ulama NU & Muhammadiyah dipercaya mampu menyeimbangkan perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Serta mampu menyebarkan ajaran-ajaran Islam rahmatalli’alamiin. Pada NU sendiri, generasi milenial (non pesantren) telah mengetahui dan mampu memilah-memlih ulama, ustadz hingga aktivis media sosial. Prof. Nadirsyah Hosen, K.H Bahauddin Nur Salim (Gus Baha), dan K.H Maulana Miftah Habiburrahman (Gus Miftah) adalah sebagaian Ulama NU yang banyak diikuti dan dijadikan rujukan bidang keilmuan Islam. Terlihat dari aktifnya ulama muda NU ini di media sosial. Serta tidak menghilangkan ciri khas dakwah ala NU, yang dibungkus dengan guyonan.

Menyebarkan agama Islam melalui literasi, video, serta membaurkan budaya dengan agama adalah sebagain dari banyak cara yang sesuai untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia. Tentu saja hal-hal seperti ini harus disajikan dengan metode-metode yang menarik serta menjunjung tinggi hadist Nabi Muhammad SAW :

اِ نَّماَ بُعِثْتٌ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق

“Diutusnya aku hanya untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji”

Maka dari itu dakwah dan setiap upaya memperjuangkan Islam itu harus dilakukan dengan akhlakul karimah. Terlebih di Indonesia, para wali zaman dahulu sangat cerdik dan bijaksana dalam mendakwahkan Islam. Para wali berhasil menerjemahkan Islam ke dalam budaya masyarakat, sehingga Islam bisa disambut baik oleh masyarakat pribumi.

Ulama sebagai pewaris ilmunya para Nabi, harus mampu meniru jejak dakwah beliau-beliau dalam berdakwah. Dalam upayanya menyelaraskan Islam dengan kondisi seperti yang beliau-beliau lakukan di negeri kita ini, dibutuhkan ilmu yang luas dan dalam. Disinalah Ulama seharusnya tampil, sebab hanya Ulama yang memang benar-benar memahami ilmu agama secara mendalam.

Sederhananya, kita sebagai generasi milenial harus mampu belajar dan mengikuti cara-cara yang sama dengan sesuai zaman dan kebutuhan masyarakat. Kita bisa belajar berdakwah seperti Prof Nadirsyah Hosen dengan ribuan litelatur kajian keislamannya yang mudah dan ilmiah. Gus Baha dengan kajian khas ala pesantren NU dan Gus Miftah yang terkenal dengan da’i kodang memadukan budaya dengan agama. Dan masih banyak lagi Ulama NU & Muhammadiyah yang bisa kita jadikan panutan untuk menjadi penerus ulama di masa yang akan datang.

Penulis: Muhammad Najib Murobbi, Mahasiswa Ma’had Aly Krapyak Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *