Klasifikasi keulamaan di Betawi itu unik. Level tertinggi disebut Guru. Mereka bukan hanya alim, melainkan kharismatik dan dianggap punya otoritas untuk berfatwa. Mereka juga memiliki jaringan para murid yang tersebar luas. Contoh, Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Khalid, Guru Mansyur, dan seterusnya.
Level kedua disebut Muallim. Mereka alim, kharismatik, tapi belum memiliki otoritas berfatwa. Misalnya Muallim Syafi’i Hadzami, Muallim Abdullah Syafi’i, dan Muallim Thohir Rohili. Level ketiga, para ustadz. Mereka mengajar keilmuan agama level dasar dan mendampingi masyarakat dalam menyelenggarakan ritual keislaman. Ketiga klasifikasi ini dinamis. Sebab, akibat interaksi masyarakat Betawi dengan kaum Alawiyyin dan orang Jawa, di kemudian hari muncul “strata” baru. Yaitu, Habib/Habaib dan Kiai Haji. Hebatnya, semua memiliki peranan masing-masing.
— Selain Betawi, ada Minangkabau, Aceh dan Madura yang dikenal kuat keIslamannya. Kata Buya Hamka, sungguhpun orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan, tetapi jika sudah murtad merupakan sebuah aib yang besar.
— Menarik apabila mencermati nama pesantren yang didirikan oleh Kiai M. Shodri, yaitu Al-Wathoniyah Asshodriyah. Alwathoniyah mengacu pada nama pesantren yang didirikan oleh KH. Hasbiyallah, gurunya, sedangkan Asshodriyah tentu saja mengacu pada nama dirinya. Ini tipikal khas ulama Betawi. Nama lembaga identik dengan pendirinya. Assyafiiyah didirikan oleh Muallim Abdullah Syafi’i, Attahiriyah didirikan oleh Muallim Thohir Rohili, dan seterusnya.
— Penamaan Al-Wathoniyah ini unik. Pasca Perang Dunia I, para ulama Indonesia memilih melekatkan istilah Wathan (tanah air) dalam organisasi maupun madrasah yang didirikan. KH. A. Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan, Far’ul Wathan, dan Hidayatul Wathan. KH. Ahmad Dahlan menamakan gerak kepanduan Muhammadiyah dengan nama Hizbul Wathan, KH. Masjkoer (kelak menjadi Panglima Barisan Sabilillah di era revolusi fisik) merintis madrasah Misbahul Wathan di Malang, dan kelak di kemudian hari Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid, mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang punya basis kuat di NTB. Termasuk KH. Hasbiyallah yang mendirikan Ponpes Al-Wathoniyah yang berkembang dengan varian cabangnya di berbagai daerah.
— Relasi ulama Betawi dan Jawa terjadi manakala kedua arus besar santri ini berguru kepada para ulama di Haramain. Sejak era Mufti Syafi’iyah di Makkah era 1860-an, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, hingga kurun waktu seratus tahun setelahnya. Sebab, sanad keilmuan ulama Betawi dan Jawa ini nyambung dengan keluarga Sayyid Abbas & Sayyid Alawi al-Maliki, keluarga Syatha’ Addimyathi, hingga Syekh Amin Quthbi, Syekh Hasan Masysyath, dan Syekh Umar Hamdan dan para ulama lain.
— Relasi ini semakin erat jika menilik sanad keilmuan para Guru dan Muallim Betawi bersambung dengan generasi emas ulama Jawa di Makkah, sejak era Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz Attarmasi, Syekh Nahrawi Banyumas, dan Syekh Baqir Jugjawi serta para ulama Jawa lain.
— Interaksi para pelajar Betawi dan Jawa serta dari semua kawasan Nusantara terjadi secara dinamis di Madrasah Darul Ulum Makkah yang menjadi jujukan di era Sayyid Muhsin al-Musawa dan kemudian Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Salah satu alumnus terbaiknya, Syekh Muhajirin Amsar Addari, perintis Ponpes An-Nida al-Islamy, Bekasi, menulis banyak kitab. Menurut putranya, ada kurang lebih 39 kitab karangan beliau. Yang paling fenomenal Misbah adz-Dzalam, Syarah Bulughul Maram. Di kawasan Jakarta, beliau adalah ulama asli Betawi yang karyanya paling banyak setelah Sayyid Utsman bin Yahya, yang berasal dari kalangan Alawiyyin.
— Hubungan ulama dan masyarakat Betawi dengan kalangan habaib terjalin kuat. Beberapa keluarga habaib dihormati hingga anak cucunya dan menjadi rujukan dalam bidang agama. Dalam kurun 1 abad terakhir, keluarga ini yang memiliki pengaruh kepada masyarakat Betawi: Habib Ali al-Habsyi Kwitang; Habib Ali Alatas, Bungur; Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, Bukitduri, dan dalam kurun dua dasawarsa terakhir, marga Shihab menancapkan pengaruhnya melalui Sayyid Rizieq dan kendaraan FPI-nya, dan trah al-Musawa melalui Habib Mundzir dan Habib Nabil dengan Majelis Rasulullah yang dahsyat itu.
— Ketika Jepang masuk Indonesia, 1942, ada 2 ulama besar yang diawasi dengan ketat. Di Jawa bagian Timur, Abdul Hamid Ono, muslim Jepang yang menikahi perempuan Gresik, aktif memantau gerak gerik KH. M. Hasyim Asy’ari. Di wilayah Barat, Jepang mengawasi Habib Ali al-Habsyi melalui Abdul Mun’iam Inada dan Haji Saleh Suzuki. Keduanya dipantau karena sama sama memiliki kharisma dan pengaruh yang sangat kuat di pula Jawa.
— Relasi unik lainnya terjadi antara KH. A. Wahid Hasyim dengan jaringan ulama Betawi usai proklamasi. Ketika dinas intelijen militer Belanda memburu anggota kabinet Indonesia, Kiai Wahid yang merupakan Menteri Negara tidak keluar Jakarta, melainkan memilih rumah para sahabatnya sebagai Safe House. Di antaranya, rumah Muallim Muhammad Naim di Cipete, KH. Baqir Marzuki di Rawabunga, KH. Hasbiyallah di Klender dan KH. Abdurrazaq Ma’mun di Mampang. Jika ditelisik, usia para ulama ini nggak jauh beda, kelahiran 1913-1916. Demikian eratnya hubungan ini, Gus Dur menulis profil KH. Abdurrazaq Ma’mun melalui kolomnya di Majalah Tempo, 1980, dengan judul “Kiai Razaq yang Terbakar”. Kolom mengenai para ulama ini kemudian dikodifikasikan dalam buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” (Yogakarta: LKiS, 1997). Gus Dur juga sering sowan ke KH. Zayyadi Muhajir, menantu KH. Hasbiyallah.
— Hubungan Betawi dan Jawa yang erat ini juga terjadi dalam aspek organisatoris di mana beberapa ulama Betawi aktif di NU, dari era KH. Abdurrazaq Ma’mun, KH. Hasbiyallah, KH. Baqir Marzuqi, Muallim Thohir Rohili, Muallim Syafi’i Hadzami, hingga KH. Saifuddin Amsir.
Wallahu A’lam Bisshawab
Catatan ini disampaikan di acara Halaqah Ulama Jakarta, di PP. Alwathoniyah Asshodriyah, Ahad 31 Ramadan 1440 H/26 Mei 2019.
Penulis: Gus Rijal Mumazziq Z, Jember.