KH Dr Faqih Abdul Kodir, Dosen ISIF Cirebon
Sorogan adalah metode tua pendidikan pesantren, dimana santri satu persatu membaca dan menjelaskan suatu kitab di hadapan kyai. Sang kyai akan meluruskan jika salah dan memberi penekanan tertentu jika diperlukan.
Kata Kevin W. Fogg, seorang profesor sejarah di Oxford Uni, justru tradisi sorogan ini yang berlaku di sini. Sejak Barat mengenal akademia Islam lewat Perang Salib, abad 11 M, metode belajar sorogan diterapkan di Oxford sampai sekarang. Terutama, Oxford Center for Islamic Studies.
Seorang dosen, hanya mengampu 7-10 mahasiswa S1. Dia akan memberikan pertanyaan kepada mahasiswa dan sekaligus daftar buku rujukan. Mahasiswa membaca dan menulis, lalu setor, dan maju ke hadapan dosen, menjelaskan hasilnya. Jika selesai, dosen akan memberikan pertanyaan lagi dengan daftar buku rujukan juga.
Demikian seterusnya. Di sini tidak berlaku semester. Tetapi caturwulan. Ada tiga caturwulan setahun, satu caturwulan libur. Sesuai musim: Gugur, dingin, bunga, dan panas libur. Tidak ada ujian di setiap caturwulan, bahkan tidak di akhir tahun. Ujian di akhir tingkatan, tahun ketiga atau keempat.
Dikumpulkan di akhir tingkat, ada ujian awal, tengah, dan akhir. Ketika ujian ada jaket khusus, dan bunga sebelah kiri dada, yang warnanya berbeda sesuai tingkatan ujian. Ujian awal putih, tengah pink, dan akhir merah, kalo tidak salah.
Dosen mengampu sedikit mahasiswa, tetapi melelahkan, kata Kevin. Karena harus memastikan perkembangan setiap mahasiswa dalam hal menganalisis, menulis, dan berargumentasi. Ini baru tingkatan S1.
Ini sekelumit cerita Kevin, sambil jalan keliling kampus, sore hari menjelang buka puasa, Jumat, 1 Juni 2018, di Oxford university. Unik, berbeda, dan menarik.
Tepatkah tradisi sorogan diterapkan di Perguruan Tinggi Islam/Ma’had Aly?