Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Qur’an

Pesan Simbolik Ibadah Haji Serta Penjelasannya

Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Qur’an.

Oleh: Prof. Dr.  Abdul Mustaqim, Ketua Prodi IAT (Ilmu al-Qur’an dan Tafsir) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa  Lingkar Studi al-Qur’an (LSQ) ar-Rohmah Yogyakarta.

Tulisan sedehana ini mencoba mengurai tentang berbagai tipologi bencana dalam perspektif  al-Qur’an.  Ini mengingat bahwa bencana dalam al-Qur’an disebut dengan  banyak istilah.  Ada istilah balâ’ (ujian untuk menguji kesabaran dan kualitas amal perbuatan), `adzab (siksa sebagai akibat perbuatan zhalim  dan  fasik ), tadmîr (penghancuran secara total akibat pendustaan ayat-ayat Allah dan para rasulNya),  fitnah  (cobaan untuk menguji keimanan seseorang)  dan mushîbah (bencana yang  mengenai seseorang atau kaum secara tepat sasaran).

Dari sekian istilah yang ada, yang paling popular untuk menyebut bencana adalah term mushîbah. Di dalam al-Qur’an, term tersebut terulang sebanyak sepuluh kali.  Secara bahasa, kata mushîbah  dari kata ashâba-yushîbu-ishâbah,  berarti suatu peristiwa yang menimpa seseorang atau kaum secara tepat sasaran.  Dari sisi bahasa,  sebagaimana dinyatakan pakar tafsir al-Qur’an ar-Râghib al-Asfihâni,  musibah sebenarnya bisa berupa hal yang baik (khair), dan bisa pula berupa yang buruk (syarr). Namun, umumnya orang kemudian menisbatkan kata ‘musibah’, hanya  pada saat tertimpa hal-hal buruk dan yang tidak disukai. Inilah yang disebut proses penyempitan makna mushibah.

Lalu mengapa mushibah itu bisa terjadi? Al-Qur’an menjelaskan bahwa seringkali musibah terjadi karena perilaku manusia yang  menyalahi sunnatullâh, sehingga merusak  hukum keseimbangan dalam kehidupan.  Misalnya,  karena manusia suka menggunduli hutan, maka terjadi musibah tanah longsor.  Karena manusia suka membuang sampah sembarangan di sungai, maka menyebabkan  sungai menjadi kotor, polusi  air, bahkan buntu yang menyebabkan air meluap dan banjir.

Itulah mengapa Al-Qur’an menyebut bahwa musibah terjadi karena perilaku manusia. Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Q.S. al-Syûra [42]: 30. Dengan begitu mestinya manusia mau melakukan introspeksi diri atau muhasabah, agar ke depan perilakunya menjadi lebih baik.

Namun demikian, secara teosentris tidak ada musibah yang terjadi, kecuali atas izin Allah Swt. Al-Qur’an menyatakan, “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  (Q.S. al-Taghabun [64]: 11).

Terjadinya musibah memang diizinkan Allah Swt sebagai sebuah mekanisme dalam sistem hukum kehidupan, namun  belum tentu diridlai oleh Allah Swt. Jadi, istilah “atas izin  Allah” itu tidak berarti mesti diridlai oleh Allah Swt. Bagaimana mungkin diridhai, sementara penyebab terjadinya musibah tersebut adalah perilaku penyimpangan. Misalnya, akibat pergaulan bebas (free sex) maka terjadi penyakit aid dan penyakit kelamin lainnya. Karena ceroboh, tak mau  menjaga kebersihan dan tidak mau melakukan social distancing saat  terjadi wabah virus corona, akhirnya terpapar positip  virus coronam bahkan menyebarkan virus corona itu sendiri kepada pihak lain.

Lalu masalahnya apakah  setiap bencana yang menimpa masyarakat kita  ini secara pasti bisa kita katakan sebagai azab?  Nanti dulu,  jangan  terburu-buru menghakimi, apalagi melakukan blamming the victim  (menyalahkan korban). Memang sekarang ini banyak bencana  menimpa kita, mulai dengan bencana gempa bumi,  gunung melatus, banjir tsunami, dan pandemi wabah corona (Covid 19) akhir-akhir ini.

Bencana  memang bisa merupakan azab,  bisa juga merupakan ujian atau peringatan, bahkan  mungkin justru merupakan rahmat bagi kita.  Hemat penulis,  dengan menganalisa term-term yang ada dalam al-Qur’an dan konteks internal ayatnya, maka setidaknya musibah atau bencana yang menimpa manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:

Pertama, bencana atau musibah sebagai azab atau siksaan. Ini biasanya menimpa pada orang-orang  yang berbuat zhlim dan fasik. Umat-umat terdahulu  yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt, mendustakan para nabi dan kafir, mereka banyak tertimpa musibah sebagai azab. Hal ini antara lain ditegaskan  dalam al-Qur’an: “Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik”. (Q.S. al-Araf [7]: 165). Ayat ini konteksnya adalah bahwa orang-orang  Yahudi Bani Israil berlaku zhalim dan fasik, ditimpkan  siksa yang keras.

Kedua, bencana atau musibah sebagai indzâr (peringatan). Ini biasanya menimpa pada orang-orang  ‘beriman’, tetapi masih  sering melakukan pelanggaran. Artinya, ada tindakan dan perilaku  mereka yang sudah terlalu jauh  melenceng. Banyak kerusakan di muka  bumi,  karena perilaku kekufuran teologis, maupun kekufuran sosial  yang dilakukan manusia. Maka, Allah Swt mengingatkan atau menjewer antara lain dengan memberikan musibah yang menimpa pada manusia agar mereka kembali ke jalan yang benar. Al-Qur’an  menyatakan: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. al-Rum [30]: 41). Literatur tafsir klasik  seperti  Tafsir al-Thabari,  menjelaskan bahwa  fasad (kerusakan)  yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kemaksiatan dan kekufuran.

Ketiga, bencana atau musibah sebagai  bala’  (ujian). Ini  secara umum akan menimpa semua manusia  untuk melihat kualitas amal perbuatannya, sebagaimana  firman Allah Swt,  “Dia  Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun  (Q.S. al-Mulk [67]: 2).  Apabila bala’  ini menimpa pada orang-orang yang beriman, maka biasanya  untuk konteks menguji kesabaran mereka.  Diantara bentuk bentuk ujian ini adalah rasa takut, kelaparan, kehilangan harta, jiwa dan gagal panen misalnya. Allah Swt berfirman:  Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar  (Q.S. al-Baqarah [2]: 155).

Keempat, bencana atau  musibah sebagai rahmat. Ini biasanya menimpa pada orang-orang mukmin yang muhsinin.  Akan tetapi, tampaknya  untuk  melihat bencana sebagai rahmat diperlukan kejernihan hati nurani.  Agak sulit  rasanya memahami musibah sebagai  rahmat, kecuali  orang-orang yang sudah  mencapai maqam ‘mukmin plus (baca muhsinîn).  Al-Qur’an jelas menyebut bahwa rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang muhsinîn (orang-orang yang berbuat baik).

Siapa muhsinin itu? Dalam al-Qur’an  antara lain dijelaskan, mereka adalah orang yang ahli mendermakan hartanya di jalan Allah Swt, mereka yang berinfak baik di saat senang maupun susah dan menahan amarahnya serta mau memberi maaf kepada orang lain, mereka yang beriman, beramal shalih dan bertakwa kepada Allah Swt.  Sifat-sifat  tersebut  biasanya disematkan kepada para nabi, para sahabat,  para waliyyulah, dan  para ulama dan orang-orang shalih. Mereka sering mendapat musibah dalam hidupnya, tetapi musibah tersebut secara hakikat sebenarnya merupakan rahmat Allah Swt. Sebab dengan begitu, Allah Swt akan mengampuni dosa-dosanya dan atau meninggikan derajatnya di sisi-Nya.

Musibah sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin, dalam konteks wabah penyakit tha`un  atau lepra (dan untuk konteks sekarang virus corona), antara lain diisyaratkan dalam hadis Shahih Bukhari sebagai berikut :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ، فَأَخْبَرَنِي «أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ  صحيح البخاري (4/ 175)

Dari Aisyah ra, istri Nabi Saw dia berkata, Saya bertanya  kepada Rasulullah Saw tentang wabah penyakit  tha`un (lepra). Maka beliau memberi  kabar, bahwa wabah itu adalah azab yang dikirim Allah Swt untuk  orang yang  dikehendakiNya, namun Allah jadikan wabah itu rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidaklah seseorang mau tetap tinggal di rumah (stay at home) –dengan tetap sabar dan  ikhlas, sembari dia yakin bahwa wabah tersebut tidak akan menimpa seseorang kecuali yang sudah ditetapkan Allah Swt—kecuali  baginya akan mendapat bahala seperti orang yang mati syahid. HR al-Bukhari).

Walhasil, bagi orang yang beriman,  tidak ada suatu musibah yang terjadi dan menimpa hambaNya,  kecuali pasti ada nilai kebaikan dan kemaslahatan. Hanya saja kadang pandangan dan ilmu kita yang terlalu sempit, dalam  melihat setiap peristiwa musibah dari sudut kepentingan manusia semata.

Akhirnya,  kita melupakan kepentingan dunia alam global yang yang lebih luas. Tengoklah  berbagai riset ilmiah yang sudah  dipublikasikan terkait dengan perubahan lapisan ozon yang semakin membaik, air laut dan udara yang semakin bersih, sebab tak ada lagi yang buang sampah di tempat-tempat rekreasi. Tempat-tempat maksiat di berbagai belahan dunia juga tutup. Rupanya, corona telah membersihkan dunia ini dari berbagai limbah kegiatan manusia yang mencemari bumi dan langit. Kalau mau jujur sebenarnya yang   menjadi virus itu ya manusia, sedangkan corona itu anti virusnya.

Wa Allâhu a`lam bi shawâb.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Assalamualaikum wr wb. bolehkan artikel ini dilanjutkan ke tesis prof? kalau boleh apakah sudah ada yang membahas artikel ini ke jurnal/skripsi/tesis prof