Oleh : M. Rikza Chamami, Dosen UIN Walisongo
Bicara soal santri tidak akan pernah berhenti dalam satu dua seminar. Sebab santri itu sangat mainstream dengan suasana keilmuan dan kenyataan.
Santri sangat lekat dengan keilmuan karena term ini lahir sebagai jawaban atas tiga peristiwa: ngaji, ngawulo dan ngamal. Sementara basis kenyataan santri itu karena hari ini keberadaan santri sudah mendapatkan pengakuan konstitusional dengan adanya Peringatan Hari Santri sejak 2015.
Ngaji (mengaji, mencari ilmu) tidak bisa dilepaskan dari kegiatan rutinitasnya. Walau sudah menjadi alumni santri (sebut saja jadi Kyai)–ia tetap akan mencari ilmu dari Kyai Sepuh atau mencari pengembangan ilmu secara otodidak. Sebab ilmu dasar sudah dipelajari sejak nyantri.
Ngawulo (mengabdi) ini juga tidak lepas dari hasil penempaan ilmu pesantren. Karena siapapun yang ingin mendapatkan berkah ilmu, maka harus dapat mengabdirikan diri untuk siapapun–tanpa terkecuali.
Ngamal (mengamalkan ilmu) mencari puncak dari succes story bagi santri. Bahkan karena santri selalu merasa bahwa ilmu yang dimilikinya tidak sempurna, maka mengamalkan ilmu sekaligus menjadi ladang mencari ilmu. Dan itu sudah biasa.
Kenyataan santri zaman sekarang memang sudah berubah. Kenapa berubah? Sebab zaman juga berubah dan santri ternyata bisa mengikuti perubahan-perubahan itu. Sebab perubahan merupakan ijtihad kehidupan yang tidak mungkin diberhentikan.
Dan tentunya dengan rumus mengikuti perubahan dengan tetap memegang teguh manhaj kesantrian yang berdasar pada kaidah baku agama Islam. Sepanjang agama tidak melarang, tentu santri akan mengikutinya. Sederhana saja intinya bahwa santri itu moderat.
Arus moderasi keislaman santri ini juga tidak lepas dari dasar keilmuannya. Sebab sejak awal belajarnya, santri sudah dikenalkan dengan pola perbedaan pendapat para ulama. Disitulah ilmu moderasi itu lahir dengan dipadukan pada kenyataan kehidupan yang selalu dihadapi. Sebab perbedaan itu adalah rahmat Allah yang sangat indah.