M Ainul Yaqin, Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Pengurus Lakpesdam PWNU DIY
Seperti tugas pemerintah pada umumnya, salah satunya untuk mengatur warga negaranya. Tenunya mengatur menggunakan prinsip-prinsip demokrasi. Warga negara tidak dapat dibebaskan sebebas-bebasnya, harus ada yang membuat aturan, mengawasi, dan menjalankan aturan itu.
Kalau negara dibebaskan, maka itu akan menjadi seperti hutan belantara. Jangankan warga negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Syria, Mesir atau Thailand, tapi warga negara sekelas Jepang, Inggris, Jerman, bahkan Amerika, kalau dibiarkan hidup bebas tanpa aturan yang ketat, maka mereka akan bertindak samaunya, berusaha saling menang sendiri, saling mencaci, bahkan akan saling membunuh. Sudah sifat manusia, kalau hidup tanpa aturan, maka dia akan berusaha menang sendiri. demi kepentingan dirinya, keluarganya atau kelompoknya.
Ceramah Perlu Diatur
Apa yang dilakukan Kementrian Agama RI dengan mengeluarkan daftar mubaligh dan penceramah Islam Indonesia adalah sebuah langkah tepat karena mereka mempunyai tugas untuk mengatur itu. Kalau penceramah dibiarkan tidak didaftar dan diatur, jelas akan muncul penceramah-penceramah yang bukan hanya tidak kompeten dari sisi keilmuannya, tapi juga seenaknya sendiri menebarkan ajaran-ajaran yang berpotensi dapat memecah belah ummat.
Tidak sulit untuk mencari bukti para muballigh atau penceramah yang suka menebar kebencian atas nama SARA atau lebih suka berbicara politik yang bersifat adu domba darpada mengajarkan nilai-nilai Islam yang mendamaikan dan cinta tanah air. Di Youtube, Facebook, Instagram dll dapat ditemukan dengan mudah jejak-jejak digital mereka.
Sebagai contoh, frase-frase yang tidak pantas diungkapkan oleh mubaligh atau penceramah agama seperti “Presiden Guablok”, “Menteri Agama Sesat”, “Negara Indonesia ini Thogut”, “Monyet-Monyet Berseragam Coklat itu”, “Pementah Anti Islam”, “Bom bunuh diri itu boleh”, “Orang Islam yang baik itu yang jadi teroris”, dan masih banyak lagi frase yang tidak sopan dan profokatif. Atau penceramah yang melatih bertempur jamaahnya untuk siap-siap melakukan jihad di negara yang mana pemimpinnya mayoritas bergama Islam sekaligus dekat dengan para ulama pesantren yang santun dan tinggi ilmu agamnya.
Pemerintah yang tidak hanya dekat dengan ulama NU dan Muhammdiyah tapi juga pemerintahannya juga melibatkan kader-kader dan aktivis kedua ormas Islam terbesar dan sekaligus moderat di Indonesia itu. Kalau mubaligh dan penceramah yang suka menebar kebencian, suka berkata kasar, mengajarkan intoleransi dan radikalisme itu dibiarkan, dan pemerintah diam saja, maka itu artinya pemerintah tidak melakukan tugasnya mengatur dan melindungi warganya.
Apakah Pemerintah Otoriter?
Tentu tidak tepat kalau pemerintah sekarang dikatakan otoriter sebab pemerintah dalam mengeluarkan daftar mubaligh itu tetap mengacu pada aturan hukum yang ada. Langkah ini jelas berbeda dengan aturan yang dibuat oleh rezim ORBA di awal tahun 1970an yang bersifat memaksa para penceramah khususnya Ulama NU waktu itu untuk masuk di barisan pendukung Suharto. Aturan waktu itu bersifat represif yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan Suharto.
Banyak ulama atau penceramah, khususnya Ulama dan Mubaligh NU ditahan bahkan mendapat perlakuan kekerasan fisik dari aparat. Situasi sekarang berbalik, tidak sedikit para mubaligh atau penceramah yang justru berbicara bebas sebebas-bebasnya. Sedang pemerintah harus ekstra hati-hati dalam menghadapi fenomena ini. Salah sedikit dalam menanganinya, maka pemerintah akan dicap anti Islam atau anti ustaz A, B dan C.
Langkah pemerintah untuk memberikan daftar penceramah dengan berbagai kualifikasi seperti latar belakang kelimuan yang mumpuni, sikap penceramah yang santun dan sopan, isi ceramah yang menentramkan dan mendamaikan serta mencintai NKRI dengan segala keragamannya adalah sudah tepat. Bahkan kalau perlu, Kementrian Agama RI sebagai bagian dari pemerintah tidak hanya membuat daftar mubaligh atau penceramah, tapi juga membuat aturan atau sertifikasi penceramah.
Jadi, aturan ini peting agar tidak setiap orang dengan mudah dan tiba-tiba boleh berceramah hanya dengan modal pandai berpidato, padahal keilmuannya tidak mencukupi, sanad keilmuannya tidak jelas (dalam dunia akademik modern disebut jenjang akademis dan referensi keilmuanya tidak jelas) atau tabiatnya sangat buruk.
Kalau ini yang terjadi maka ummat akan menjadi korban dan negara akan terancam menghadapi kehancuran.
*Salam Pecel*