Tata Cara Shalat Idul Fitri di Tengah Pandemi.
Kementerian Agama telah mengeluarkan edaran untuk meniadakan shalat idul fitri tahun ini di tengah pandemi covid-19. Berbeda dengan Kementerian Agama, PBNU tidak sampai mengeluarkan edaran untuk meniadakan shalat id. PBNU menghimbau umat Islam khususnya warga NU untuk melaksanakan shalat idul fitri di rumah.
Melaksanakan shalat id di rumah mungkin terasa janggal karena selama ini nyaris selalu digelar di lapangan atau masjid secara berjama’ah dengan dua kali khotbah. Lalu bagaimana melaksakan shalat idul fitri di rumah? Apakah harus ada sesi khatbah sebagaimana biasanya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya akan mencoba menyampaikan apa yang saya pahami, apa yang saya baca, dan apa yang saya dengar dari guri-guru saya terkait dengan shalat idul fitri.
Pertama, hukum shalat idul fitri. Dalam kitab Al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu, diterangkan bahwa Madhzab Hanafi menyatakan bahwa hukum shalat idul fitri adalah wajib bagi siapapun yang terkena kewajiban shalat jum’at. Madzhab Hanbali menyatakan bahwa hukum shalat idul fitri adalah fardhu kifayah. Sedangkan Madhzab Maliki dan Syafi’i menyatakan bahwa hukum shalat idul fitri adalah sunnah muakkad.
Mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti Madhzab Syafi’i sehingga mayoritas meyakini bahwa shalat idul fitri hukumnya sunnah muakkad. Konsekuensi dari sunnah adalah jika dilakukan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa.
Kedua, waktu pelaksanaan. Jumhur ulama sepakat bahwa waktu pelaksanaan shalat idul fitri adalah kira-kira 30 menit setelah terbit matahari sampai sesaat sebelum masuk waktu dzuhur.
Ketiga, cara pelaksanaan (jama’ah atau munfarid). Dalam kitab Al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu, diterangkan bahwa Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat jika ada seorang muslim yang tertinggal shalat idul fitri bersama imam, maka tidak perlu mengqodhonya karena waktu sudah berlalu. Syafi’i dan Hanbali berpendapat barang siapa yang tertinggal shalat idul fitri bersama imam, maka disunnahkan untuk mengqadhanya secara munfarid (sendirian)
Kesimpulannya shalat idul fitri bisa dilakukan secara munfarid (sendirian) di rumah, tidak harus berjama’ah di masjid atau di lapangan.
Keempat, hukum khutbah shalat idul fitri. Jumhur ulama berpendapat bahwa khotbah pada shalat id hukumnya sunnah. Madhzab Maliki bahkan hanya sebatas menganjurkan. Khotbah shalat idul fitri juga boleh tidak didengarkan oleh jama’ah. Artinya, tanpa khotbah, shalat idul fitri tetap bisa dilakukan.
Dari keterangan ini, artinya shalat idul fitri bisa dilakukan di rumah, secara munfarid, dan tanpa khotbah. Namun jika masing-masing keluarga mau melaksanakan shalat id di rumah masing-masing dengan disertai khotbah, itu tentu lebih baik lagi karena mendapat pahala sunnah dari pelaksanaan khotbah.
Kelima, teknis pelaksanaan shalat idul fitri sebagaimana biasanya. Intinya diawali niat shalat idul fitri, lalu di rakaat pertama ada 7 takbir, di rakaat kedua ada 5 takbir, dan si setiap takbir membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir.
Dari keterangan di atas, di tengah pandemi covid-19, umat Islam boleh tidak menggelar shalat idul fitri di lapangan karena hukumnya sunnah muakkad. Konsekuensi dari sunnah adalah jika dilaksanakan dapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa. Bagi yang tetap mau melaksanakan shalat idul fitri, bisa dilaksanakan di rumah sendiri, bisa sendiri atau berjamaah dengan anggota keluarga, dan tidak perlu ada khotbah. Tapi jika tetap mau ada khotbah lebih baik. Wallohu A’lam.
Penulis: Saefudin Achmad, IAIN Purwokerto.