Oleh: Siti Kholisatul Wahidah, Mahasiswa KPI STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
Saat terbangun dalam kesunyian malam ditemani sahabat-sahabat pesantren yang tengah tertidur pulas, tiba-tiba fikiranku terngiang dengan sosok mubaligh di tengah maraknya gadget dan medsos. Apabila fasilitas medsos digunakan dengan baik, maka akan memberikan efek manfa’at yang begitu besar bagi khalayak umum. Kemudian saya juga terngiang dengan sebuah hadis yang mengatakan bahwa:
Dari Sa’id Al-Khudri bahwa Rosulullah saw. bersabda : “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah dengan hati adalah tanda lemahnya iman” (HR. Muslim).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa sebagian umat muslimin memiliki hak kewajiban dakwah sesui dengan kadar kemampuannya. Ketika kita tahu pengetahuan walau hanya dengan satu ayatpun kita sangat dianjurkan untuk menyampaikan terhadap sesama.
Di era millennial seiring dengan era globalisasi yang telah ber-efek terhadap derasnya keterbukan informasi. Nampaknya masyarakat mulai kehilangan identitasnya. Gaya hidup dipengaruhi oleh santapan media massa. Sesuai dengan teori jarum hipodermik, media memiliki kekuatan yang begitu ekstrim dan semua yang terkandung dalam media massa dianggap sebagai kiblat yang keseluruhannya dianggap benar dan ditiru.
Internet dianggap sebagai media baru yang melahirkan banyak anekaragam aplikasi yang sangat menguasai informasi serta membentuk sebuah opini publik, terutama pada generasi millennial sekarang ini. Sehingga dengan maraknya sekarang ini kaum muslimin dituntut untuk selalu berinovasi dalam berdakwah.
Media sosial membuka peluang selebar-lebarnya terhadap siapapun untuk saling bertukar informasi. Arus informasi sudah tidak bisa lagi dibatasi. Setiap adanya perkembangan informasi selain mendatangkan manfa’at juga mudharat. Hal ini juga berdampak pada terjadinya transisi otoritas keagamaan dulu dimiliki oleh Kyai dan para ‘alim ulama, kini mulai digantikan oleh wadah internet. Siapapun dan dimanapun pada umumnya jika tahu tentang suatu hal tentang hukum agama dengan mudahnya tinggal search mencarinya di google dan langsung nemu jawabannya.
Pada umumnya orang lebih nyaman dan mudah menanyakan sesuatu permasalahan pada internet, apalagi persoalan yang dihadapinya adalah yang sifatnya pribadi. Menjadi soal media internet tidak semua sumber dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Orang awam akan cenderung sulit membedakan informasi akurat dan informasi menyesatkan.
Disinilah para aktivis penggiat dakwah dalam memainkan peran. Informasi hoax kerap menjadi momok dalam dalam menyebarkan informasi, alhasil masyarakat kebingungan mengenai informasi yang valid. Jika informasi tersebut dikirim dengan orang yang salah, sesudahnya informasi yang diterima maka akan ber-efek buruk pula. Mungkin sebagian masyarakat beranggapan bahwa berdakwah dengan media sosial tidak terlalu penting, yang penting menghadiri majlis pengajian, menimba ilmu di pesanren, dan lain sebagainya.
Nashrul Efendi menjelaskan bahwa hadirnya internet dan media sosial hadiir untuk membantu para jama’ah yang disibukkan dengan aktifitasnya yang butuh informasi keagamaan dengan cepat, bisa sekedar mendengar tanyangan video para da’i di youtube berdurasi pendek. Hampir setiap orang memiliki smart phone dan akses ineternet, informasi cepat diakses seolah dunia dalam genggamannya, tidak terbatas.
Informasi kebenaran baiknya lebih mendominasi dibanding informasi menyasatkan apalagi hoax. Pesatnya teknologi canggih bukan untuk di hindari, melainkan kita sebagai seorang muslimin memiliki tanggung jawab untuk berdakwah menjadi penggerak perubahan zaman yang bermanfa’at untuk umat, agama, bangsa dan negara . Wallahu a’lam bishawab.