Oleh: Prof. KH. Muhammad Machasin, Mustasyar PBNU
Kemarin kami belajar dari Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī mengenai ulama akherat dan ulama dunia (ulamā’ al-sū’, ulama keburukan). Dengan membaca tanda-tanda ulama akherat, dapat dibayangkan tanda-tanda ulama keburukan, yakni kebalikannya. Di antaranya:
1. Tidak mencari dunia dengan ilmunya (أن لا يطلب الدنيا بعلمه).
2. Apa yang dilakukannya tidak berbeda dengan apa yang dikatakannya dan tiap kali menyuruh melakukan sesuatu, dia mesti yang pertama melakukannya.
3. Perhatiannya adalah belajar ilmu yang berguna bagi kehidupan akherat, yang mendorong kepada ketaatan; seraya menjauhi ilmu-ilmu yang sedikit manfaatnya dan di dalamnya banyak perdebatan dan katanya-katanya.
4. Tidak cenderung untuk bersenang-senang dengan makan dan minum, pakaian yang indah, peralatan dan rumah yang mewah; melainkan sekedarnya (الاقتصاد) saja dalam semua itu.
5. Menjauhi penguasa, tidak mendatanginya sama sekali dan tidak bergaul dengannya; karena dunia itu manis dan hijau, sementara talinya ada di tangan para penguasa dan orang yang bergaul dengan mereka pastilah untuk membuat mereka suka kepadanya, sedangkan mereka orang-orang zalim.
6. Perhatiannya dicurahkan kepada ilmu batin, mengawasi hatinya sendiri, mengenali jalan akherat dan cara menempuhnya, harapan yang tulus agar semua itu tersingkap melalui mujahadah (mengendalikan diri) dan murāqabah (mengawasi diri dengan ketat).
7. Sangat peduli pada penguatan keyakinan (تقوية اليقين).
8. Berduka, sedih, diam seraya menunjukkan bekas rasa takut kepada Allah dalam setiap tingkah lakunya, ucapannya, diamnya; selalu kelihatan ingat kepada Allah, menunjukkan bahwa dia punya ilmu.
9. Pencariannya dicurahkan kepada ilmu tentang amal dan yang merusak amal, mengharu-biru hati, mengobarkan waswas dan menyebarkan keburukan; karena pokok agama adalah menjaga diri dari terjadinya keburukan.
10. Sandarannya dalam ilmunya adalah penglihatan batinnya dan pengenalannya atas kebersihan hatinya, bukan pada lembaran catatan dan buku, tidak pula pada mengikuti apa yang didengarnya dari orang lain.
11. menjaga diri dengan keras dari mengikuti hal-hal baru dalam beragama (محدثات الأمور) meskipun sudah disepakati oleh mayoritas orang.
Diskusi muncul berkaitan dengan “ilmu” yang dimaksud al-Ghazālī dalam bukunya ini. Tentu itu bukan ilmu yang didefinisikan dengan “pengetahuan yang bermetode dan bersistem” oleh Mohammad Hatta. Lalu apa? Tengok lagi poin-poin di atas; di situ terdapat kunci-kuncinya.
Lalu, apakah guru yang mengajar dengan imbalan bayaran tidak termasuk ulama keburukan? Bukankah mengajar berbayar itu masuk dalam mencari nafkah?
Apakah menjauhi penguasa itu buruk? Bukankah kekuasaan perlu dikendalikan agar tidak dipakai untuk keburukan? Bukankah ketika tidak ada orang yang mengingatkan penguasa akan tugasnya dalam mendidik masyarakat dan melayani mereka dengan kekuasaannya, justru keadaan akan menjadi lebih tidak baik?
Kesimpulannya, al-Ghazāli memberikan perhatian lebih kepada pengelolaan diri agar dekat dengan Tuhan, lepas dari kebusukan dunia. Ia tidak berbicara tentang mengelola dunia dengan ilmu, kekuasaan dan kedekatan diri sang Penguasa Sejati. Jalan al-Ghazāli dalam hal ini penting dan berguna untuk perbaikan diri, namun tidak berkaitan dengan perbaikan masyarakat. Dapatkah pribadi yang ingin membebaskan diri dari kebusukan dunia itu melakukan pembersihan terhadap dunia dari kebusukan?
Wallahu a’lam.