Tafsir Hukum Korupsi

Ilustrasi sejumlah Anggota DPRD Malang yang diciduk KPK. Gambar: malangtimes.com

Oleh: Edi AH Iyubenu, Esais dan Wakil Ketua LTN PWNU DIY, @edi_akhiles, FB: Edi Mulyono

Sayyid Sabiq pernah memberikan uraian segar perihal tafsir “kafir/kufur”, yakni bukan hanya ingkar tauhid, tapi sekaligus meliputi segala perbuatan yang merusak dan maksiat. Tentu, kita mafhumi itu dalam takarannya. Kufur tauhid (sebutlah syirik) tiada ampunan bagi pelakunya, kufur berikutnya tentu ada ampunanNya jika kemudian ditobati dengan sungguh-sungguh.

Bacaan Lainnya

Pada umumnya, orang yang sedang jatuh pada kemaksiatan, sebutlah perbuatan korupsi, jika benar di hatinya masih ada iman, takut padaNya, niscaya ia akan menyegerakan bertobat. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah –dan banyak ulama lainnya karena ini perkara umum dan ushul, sebut misal Imam Syafi’i ra—taubat yang haq niscaya diiringi oleh penyesalan-penyesalan.

Secara psikologis, kita mudah mengerti bahwa hadirnya penyesalan-penyesalan itu lalu akan diiringi dengan kedekatan diri pada kebaikan-kebaikan. Ini dimaksudkan oleh kita sebagai ikhtiar memohon ampun padaNya, mendekatkan diri padaNya, dan menghapus dosa-dosa di masa lalu dengan amaliah-amaliah solehah di masa kini –semoga Allah lalu berkenan mengampuni kemaksiatannya dulu.

Ekspresi taubat begini jelas mudah kita lihat secara kasat mata. Karena memang memancar secara lahiriah. Adapun di kedalaman batinnya, tentulah lebih menggelegar gelombang sesal dan ratapannya.

Begitu lazimnya.

Maka ketika para koruptor itu justru memanggungkan pemandang sebaliknya, yang terkesan tak menunjukkan ekspresi penyesalan apa pun, entah dengan bungkus “ini ujian dari Allah”, “keluarga terharu atas kejadian ini”, hingga “dadah-dadah, ya, saya hanya korban, kriminalisasi….”, dan sekaumnya, jika mengukuti tafsir Sayyid Sabiq di atas, jelaslah bahwa mereka adalah para kuffar yang telah mati hatinya.

Parameter hati yang mati ialah tiadanya rasa malu. Ungkapan-ungkapan di atas mencerminkan kondisi tersebut. Rasulullah Saw telah ngendikan, “Sesungguhnya pada setiap agama terdapat landasan (moral), dan landasan (moral) agama Islam adalah rasa malu….” Ali bin Ai Thalib juga pernah menyatakan, “Jika kau tak lagi punya rasa malu, berbuatlah semaumu….”

Di hadapan hati yang telah mati, tiada apa pun lagi yang bisa dijadikan pengingat, nasihat, bahkan ayat-ayat Allah. Di awal surat al-Baqarah, Allah telah menyatakan: “Sesungguhnya kepada orang-orang yang kufur itu sama saja apakah kamu (Nabi Muhammad Saw) memberikan peringatan atau tidak, mereka tetap takkan beriman. Telah Allah tutup kepada hati mereka, kepada pendengaran mereka, dan di atas mata mereka telah dijejalkan sumpalan, dan bagi mereka disiapkan azab yang pedih.” Tak hanya di satu ayat, di surat Yaasin, Allah juga menegaskan, “Sama saja bagi mereka apakah kamu (Nabi Muhammad Saw) memberikan peringatan atau tidak, mereka tetap takkan beriman.” Dan, btw, masih banyak ayat lainnya lagi, yang sejenis.

Korupsi adalah satu jenis maksiat plus. Ya, plus kerusakan hebat yang ditimbulkannya. Jadi, dengan melihat dampak-dampak hebatnya, korupsi termasuk ke dalam kemaksiatan yang besar, dosa besar.

Ingat, kan, dalil ini: “Siapa yang membunuh satu orang (mukmin), maka seolah ia telah membunuh semua orang.” Breakdown tafsirnya sesederhana begini: siapa yang merugikan seseorang, merusak hak sejahtera seseorang, otomatis setaralah ia dengan merugikan, merusak, dan menghancurkan hak hidup sejahtera seluruh orang (di negeri ini).

Tak terpikirkan oleh saya bagaimana caranya memohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas korupsi-korupsi yang telah dilakukan.

Naudzubillah min dzalik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *