Mengenai kedudukan Pancasila di hadapan Islam, Kiai Achmad Siddiq menegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi dan Islam adalah agama. Ideologi, pada umumnya diartikan berkaitan dengan cita-cita, filsafat, program perjuangan, strategi, sasarannya, dan sebagainya. Tak dapat dipungkiri, karena kompleksnya hal-hal yang terkandung dalam ideologi sehingga mampu mempengaruhi watak dan tingkah laku penganutnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ada yang secara berlebih-lebihan menganggap bahwa “Ideologi adalah agama.” Padahal biar bagaimanapun hebatnya ideologi ia tetap hasil pemikiran manusia tidak akan sampai ke derajat agama.
Seorang pemeluk agama boleh saja berfilsafat, berideologi, berbudaya, berdasar negara dan sebagainya, asal ideologi dan sebagainya itu tidak bertentangan dengan ajaran agamanya, dan dapat menempatkan agama dan ideologinya (yang tidak bertentangan dengan agamanya) pada tempatnya masing-masing secara tepat.
Sedangkan Islam adalah wahyu Allah, bukan hasil pemikiran manusia, bukan pula pemikiran Rasulullah Saw. Islam adalah wad’un ilahiyyun, ciptaan Allah Swt. Oleh karena itu, agama tidak boleh disetingkatkan dengan ideologi. Meski demikian, Islam menerima ideologi yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam hubungan antara agama dan Pancasila, keduanya dapat sejalan, saling menunjang dan saling menguatkan. Keduanya dapat bersama-sama dilaksanakan dan diamalkan, tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan meninggalkan yang lainnya. Karena itu, sangat tepat kebijaksanaan pemerintah bahwa Pancasila tidak akan diagamakan dan agama tidak akan dipancasilakan.
Tugas bangsa Indonesia adalah bagaimana memproporsionalisasikan (wad’u syaiin fi mahallihi) antara Pancasila dan agama. Sehingga benar-benar terbukti bahwa di dalam negara dan masyarakat Pancasila ini, agama dapat diamalkan dengan baik dan sebaliknya umat beragama di negeri ini merupakan tulang punggung ideologi Nasional Pancasila. Menurut Kiai Achmad Siddiq, ada tiga faktor yang merupakan modal dasar bagi upaya proporsionalisasi Pancasila dan agama, khususnya Islam. Pertama, sama-sama berwatak akomodatif. Kedua, substansi (nahiyah) masing-masing sejalan. Ketiga, bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama.
Memang diakui masih ada hambatan bagi proporsionalisasi itu, terutama berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran dari dua arah. Dari satu arah, ada kecurigaan dan kekhawatiran bahwa Negara Republik Indonesia akan menjadi negara Agama tertentu yang merugikan pemeluk agama lain. Dari arah lain terdapat kecurigaan dan kekhawatiran bahwa Pancasila akan dijadikan semacam agama nasional yang menggantikan atau paling tidak mendangkalkan jiwa agama-agama.
Menurut KH. Achmad Siddiq, umat Islam menerima Pancasila, bukan sekedar taktik melainkan ada tiga pertimbangan. Pertama, umat Islam Indonesia (melalui para pemimpinnya) ikut aktif dalam perumusan dan kesepakatan tentang Dasar Negara itu. Sembilan tokoh utama bangsa yang terkenal dengan Panitia Sembilan, berhasil menyusun rancangan rumusan yang ketika itu disetujui oleh semua pihak dan akan dijadikan sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar Negara (Piagam Jakarta), yang lalu diterima dan disahkan dalam sidang pleno BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945.
Kedua, secara subtansial nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dapat dibenarkan menurut pandangan Islam. Misalnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan Tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islam (al-Qur’an surah al-ikhlas). Demikian pula mengenai empat sila berikutnya. Kalau ditampilkan satu persatu maka tidak ada satupun yang bertentangan dengan agama (khususnya Islam). Bahkan urutan-urutan Pancasila itu dapat dibaca dalam kerangka ‘aamanu wa amilus shalihat.’ Kalau soal pertama dianggap sebagai pencerminan ‘aamanu maka kiranya tidak terlalu keliru kalau empat sila berikutnya dapat mencerminkan ‘amilus shalihat.’
Ketiga, umat Islam berkepentingan dengan memantapkan peranan agama dalam penghayatan dan pengamalan ideologi nasional dan sebaliknya negara Pancasila agama terhayati dan teramalkan secara lebih baik. Bukan hanya karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, tetapi karena pada diri Islam sendiri memuat dan membawa nilai-nilai luhur yang bersumber pada wahyu yang dapat memberi kontribusi bagi pembangunan Nasional dan dalam Pembinaan Hukum Nasional.
Selain dari ketiga tersebut, Nahdlatul Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung di dalam Undang-Undang 1945 (billafzi wal ma’na murad), dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah. Nahdlatul Ulama menolak penafsiran Pancasila yang menyimpang dari pada itu dan menolak persepsi bahwa Pancasila adalah setingkat dengan agama. (Anas)
*Tulisan ini pernah dimuat Majalah Bangkit edisi Juli 2015.