Oleh : KH. Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY
Ghaib artinya tidak ada di tempat. Shalat Ghaib ialah shalat yang diselenggarakan namun si mayit atau jenazahnya tidak ada. Shalat Ghaib ini termasuk shalat yang unik. Uniknya karena pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, telah mengambil keputusan lewat pendapat Imam Ibnu Hajar yang menyatakan: tidak perlu shalat ghaib jika yang meninggal dalam satu negeri. Sedangkan realita yang sudah dilakukan warga NU, biasanya pada hari Jum’at sebelum Khuthbah dilaksanakan ada pengumuman untuk mengerjakan bersama-sama shalat ghaib. Berdirilah imam dan diikuti semua kaum muslimin mengerjakan shalat ghaib.
Dua kubu yang kami sebutkan di atas, menampilkan argumen masing-masing. Bagi kubu yang tidak perlu :
لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ عَلَى مَيِّـتٍ غَائِبٍ عَنْ مَجْلِسِ مَنْ يُرِيْدُ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ وَهُوَ حَاضِرٌ فِي الْبَلَدِ وَإِنْ كَبُرَتِ الْبَلَدُ لِتُيَـسِّرَ حُضُوْرَهُ وَشَـبَّهُـوْهُ بِالْقَضَـاءِ عَلَى مَنْ بِالْبَلَدِ مَعَ إِمْكَانِ حُضُوْرِهِ. المُتَّجَـهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَةَ الْمَشَقَّةَ وَعَدَمَهَـا فَحَيْثُ شَـقُّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي الَبَلَدِ لِكَبَرِهَـا وَنَحْوِهِ صَـحَّتْ وَحَيْثُ لَا وَلَوْ خَارِجَ السُّوَرِ لَمْ تَصِحَّ
Tidak sah shalat jenazah atas mayit yang ghaib yang tidak berada di tempat orang yang ingin menshalatinya, sementara ia berada di negeri (daerah) dimana mayit itu berada walaupun negeri tersebut luas, karena dimungkinkan untuk bisa mendatanginya. Para ulama menyamakannya dengan qadha terhadap orang yang berada di suatu negeri sementara ia bisa menghadirinya. Yang menjadi pedoman adalah adanya atau tidak adanya kesulitan untuk mendatangi tempat mayat. Jika sekiranya sulit untuk mendatanginya walaupun berada di negerinya misalnya karena sudah tua atau sebab yang lain, maka shalat ghaibnya sah. Sedangkan jika tidak ada kesulitan, maka shalatnya tidak sah walaupun berada di luar batas negeri yang bersangkutan (selengkapnya baca dalam I’anatu al Thalibin).
Yang kedua:
وَاعْتَـمَدَ فِي التُّحْفَـة أَنَّـهُ لَا يُصَلَّي عَلَى مَنْ بِالْبَلَدِ وَإِنْ كَبُرَتْ وَعَذَرَ بِنَحْوِ مَرَضٍ أَوْ حَبْسٍ
Dalam kitab Tuhfah, dapat dijadikan pedoman bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat ghaib pada mayat yang meninggal dalam satu negeri, dan ia (tidak dapat hadir) karena sakit atau ditahan (Kurdi).
Dari kubu yang membolehkan shalat ghaib, alasan pertama :
وَيُصَلَّي عَلَى الْغَائِبِ عَنِ الْبَلَدِ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِي وَهُوَ بِالْمَدِيْنَةِ، رَوَاهُ الشَّيْخَانُ. وَلَوْ صَلَّى عَلَى مَنْ مَاتَ فِيْ يَوْمِهِ وَغُسِلَ صَحَّ – قَالَهُ الرُوْيَانِي. وَلَوْ صَلَّى عَلَى مَنْ دُفِنَ صَحَّتْ صَلَاتُهُ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاَةُ وَالسَّلَامُ صَلَّى عَلَى قَبْرٍ بَعْدَ الدَّفْنِ، رَوَاهُ الشَّيْخَانُ. زَادَ الدَّارَقُطْنِي بَعْـدَ شَهْرٍ. وَاللهُ أَعْلَمُ
Shalat ghaib diselenggarakan karena lain negara, karena “Rasulullah saw menyalati orang muslim Najasyi yang meninggal waktu di Madinah”. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Jika orang menshalati jenazah di hari meninggalnya, setelah dimandikan, maka sah – sebagaimana pendapat Imam ar-Rauyani. Jika menshalati jenazah yang telah dimakamkan, juga sah, karena Rasulullah saw pernah menshalati jenazah yang telah dikubur. Riwayat Bukhari Muslim, ditambah Daru Quthni setelah satu bulan (Kifayatu al-Akhyar, J.I/103-104).
Yang kedua:
وَثَبَـتَ فِى الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّ النَجَاشِي لَمَّا مَاتَ نَعَاهَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَصْحَابِهِ وَقَالَ إِنَّ أَخًا لَكُمْ بِالْحَبْشَةِ قَـدْ مَاتَ فَصَلَّوا عَلَيْهِ فَخَرَجَ إِلَى الصَّحْرَاءِ فَصَفَّـهُمْ وَصَلَّى عَلَيْهِ
Jelas tertera dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim: Sesungguhnya ada orang Najasyi yang meninggal kemudian Rasulullah saw memberitahu kepada para sahabat, beliau bersabda : sesungguhnya pamanmu di negeri Habasyah (Ethyopia) telah meninggal, maka shalatlah kalian untuknya, kemudian mereka keluar ke lapangan, membuat barisan dan mengerjakan shalat untuknya (Tafsir Ibnu Katsir, J.I/443).
Yang ketiga:
وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ عَلَى مَيَّـتٍ غَائِبٍ عَنْ بَلَـدٍ – إِلَى أَنْ قَالَ – وَتَجُوْزُ عَلَى جَنَـائِز صَلَاةً وَاحِدَةً فَيَـنْوِي الصَّلَاةَ عَلَيْهِم إِجْمَالًا. ( قَوْلُهُ فَيَـنْوِي ) أَيْ مُرِيْدُ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ– وَقَوْلُـهُ إِجْمَالًا أَيْ أَنْ يَقُوْلَ أُصَلِّي عَلَى مَنْ حَضَرَ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْـلِمِيْنَ أَوْ عَلَى مَنْ صَلَّى عَلَيْهِمُ الْإِمَامُ
Sah menshalati mayit di negeri orang, hingga kata-kata…. Dan boleh menshalati beberapa jenazah dengan satu shalat, dan niatnya untuk semua secara global. (kata-kata kemudian ia berniat) artinya shalatnya untuk mereka. Dan kata “ijmal” artinya seperti dalam kalimat Saya niat shalat untuk para jenazah muslim… atau niat shalat sebagaimana Imam menshalati…. (Fathu al-Mu’in. I’anatu al-Thalibin, J.II/132-135).
Yang keempat:
وَضَابِطُ الْغَيْـبَةِ أَنْ يَكُوْنَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءُ وَفِى التُّحْـفَة أَنْ يَكُوْنَ فَوْقَ حَدِّ الْغَوْثِ
Ketentuan “ghaib” ia bila berada di suatu tempat yang sudah tidak didengar panggilan adzan, kalau di kitab “Tuhfah” jika sudah di atas batas pertolongan (Bughyatu al-Mustarsyidin, 95).
Yang kelima :
Ketentuan jarak untuk shalat ghaib ini ada tiga versi: Yang pertama: 44 meter, Yang kedua: 1666 meter (1 mil), yang ketiga: 2000 s/d 3000 meter/2 atau 3 Km (Keputusan Bahtsul Masail Syuriyah NU se Jawa Tengah 1984).
_
Tambahan referensi:
- Syarah Muhadzdzab.
- Tarsyihu al-Mustafidin.