Keragaman penafsiran terhadap Alquran menjadi problem sendiri yang dialami masyarakat Indonesia. Ada yang sangat tekstual dan ada juga yang berwatak liberal.
Demikian ungkap KH. Mu’tashim Billah dalam sambutannya pada Kuliah Tafsir Pesantren yang berlangsung di Aula Komplek I Ponpes Sunan Pandanaran, Sleman (08/02).
Ketua STAI Sunan Pandanaran ini menjelaskan, bahwa Tafsir Pesantren adalah upaya moderasi penafsiran al-Qur’an yang selaras dengan prinsip dan nilai-nilai kepesantrenan serta tidak condong kepada model tekstualis dan juga liberalis.
“Kuliah tafsir pesantren ini merupakan acara seminar tafsir yang rutinan dan berkesinambungan dengan rangkaian kegiatan Khataman Alquran serta Mujahadah kegiatan Kamis Wage di Pesantren Pandanaran,” imbuh Kiai Tasim.
Sementara, KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, selaku narasumber pada acara tersebut menjelaskan tiga komponen umum yang ada pada displin ilmu al-Qur’an yakni qiraah, rasm, dan tafsir.
“Ilmu qiraah adalah ilmu tentang bagaimana cara membaca atau mengucapkan Alquran sehingga bacaan Alquran dapat terjaga. Sedangkan Ilmu rasm usmani adalah pembahasan mengenai komponen-komponen bagaimana cara tulisan Alquran sehingga Alquran dapat terlihat utuh sebagaimana yang ada pada zaman Nabi. Yang ketiga adalah Ilmu tafsir ialah tentang bagaimana cara memahami al-Qur’an. Ketiganya komponennya telah ada mulai dari pada masa Nabi,” jelas Kiai Ahsin.
Kepada sedikitnya tiga ratusan mahasiswa dan santri yang hadir, Kiai Ahsin mengatakan, bahwa mashadir (sumber penafsiran al-Qur’an), manhaj (Metode Penafsiran), dan Mazhab atau corak tafsir selalu muncul dengan konteks yang melatarbelakanginya.
“Di Indonesia, model tafsir yang banyak diminati oleh masyarakat adalah model tafsir yang cepat saji dimana dari sebuah ayat Alquran dapat dipahami sebuah intisari petunjuk dengan menekankan aspek substansial yang bisa diambil dan diterapkan,” terang sekretaris Lajnah Pentashihan Al-Qur’an RI ini.
Karena itu, lanjutnya, dalam konteks inilah saya ingin menawarkan metode panafsiran yang cocok untuk sekarang.
“Pertama, uraiannya ringkas, padat, dan mengenai sasaran. Kedua, ayat-ayat yang disampaikan adalah ayat yang akan diuraikan (tematik). Ketiga, menguraikan latar belakang ayat tersebut. Keempat, menggunakan metode ijmaly lebih bebas. Kelima, tidak terlalu melebar kepada pembahasan seputar bahasa dan keilmuan lainnya, tentunya terkecuali dalam dunia akademik. Keenam, di akhir penafsiran ditunjukkan pula unsur hidai (hidayah/petunjuk) dari ayat tersebut,” pungkas Kiai Ahsin.
(Miftah)