Setiap kali takbir Idul Adha berkumandang, selalu saja ada kesedihan masa lalu yang datang. Bertahun-tahun saya pernah miskin, betul-betul miskin, sehingga daging kambing dan sapi, seperti impian sepotong surga yang dirindukan.
Maka Idul Adha adalah harapan. Tapi entah kenapa, ketidakberuntungan selalu datang setiap tahun, –setiap Idul Adha. Keluarga saya yang miskin itu, tak pernah menerima kiriman daging seperti yang dijanjikan dalam agama. Selalu luput, dan terabaikan. Mungkin karena saya bukan penduduk asli, dan tinggal di rumah kontrakan (yang setiap tiga atau empat tahun terpaksa harus pindah rumah karena harga kontrakan naik). Begitulah setiap tahun, setiap mendengar takbir Idul Adha, kami tak pernah lupa berharap, dan menunggu. Dari siang sampai sore, menunggu datangnya daging gratis yang indah, -seperti yang dijanjikan dalam agama.
Tapi memang selalu tak pernah dapat, meskipun pernah beberapa kali mencoba berkeliling untuk melihat-lihat kemungkinan di tempat lain (pergi ke alun-alun kota, ke halaman Mesjid Jami, atau ke tempat-tempat kerumunan orang yang tengah menyembelih puluhan hewan qurban). Saya sedih, karena tak mungkin menghiba hanya untuk sepotong daging, –meskipun saya menginginkannya. Saya juga bukan tipe orang yang gampang meminta, karena saya masih punya harga diri. Di hampir semua tempat penyembelihan, orang-orang mengantri dengan selembar kupon. Maka kalau saya menginginkan daging qurban, saya harus memiliki selembar kupon.
Saya tak mau meminta selembar kupon, yang harus saya tebus dengan harga diri saya sebagai orang miskin. Maka saya memilih untuk pulang, dan berharap ada keajaiban.
Bertahun-tahun tak pernah ada keajaiban. Maka setiap takbir Idul Adha berakhir di malam hari, yang saya dengar sayup-sayup dari speaker mesjid, saya menggenggam tangan istri saya, dan menatap dua anak saya. Saya pernah menitikkan air mata.
Kini, saya sudah punya rumah sendiri. Kehidupan saya sudah jauh lebih baik. Saya mampu membeli daging kapanpun saya mau. Setiap tahun saya selalu berusaha untuk bisa berqurban. Setiap tahun pula, saya sudah diakui sah sebagai penduduk, dan menerima kupon yang diantar panitia qurban, untuk ditukarkan dengan sekantung plastik daging. Cukup aneh memang. Tapi begitulah yang terjadi: bahwa untuk mendapat sekantung daging qurban, saya terlebih dahulu harus mampu.
24 September 2015
Penulis: Joni Ariadinata, sastrawan tinggal di Gamping Sleman.