Sayyidah Aisyah Pernah Membunuh Jin, Apa yang Terjadi?

Kisah Jin dan Dukun dalam Menyebarkan Berita Kenabian Muhammad SAW

Hampir tiap hari Sayyidah Aisyah dihantui penampakan aneh. Risih dibuatnya, maka beliau pun mengutus sejumlah sahabat untuk membunuh sosok yang ternyata adalah jin. Sahabat berhasil, dan jin itu mati. Tapi malam harinya, Ummul Mukminin memimpikan sebuah peringatan, yang berbunyi, “Kau telah membunuh hamba Allah yang muslim!”

Sayyidah Aisyah tak kurang tanggapan. Setengah memprotes, beliau bertanya, “Kalau betul dia muslim, kenapa mengganggu istri Nabi!?”

Sosok itu pun menjawab, “Apakah dia sampai mengusikmu dengan menyentuh bajumu!? Apakah orang tidak boleh datang untuk mengaji pada Nabi; mendengar beliau membacakan Al-Quran!?”

Pagi harinya, Sayyidah Aisyah menginsyafi bahwa dirinya sepenuhnya keliru. Beliau lantas, sebagai ganti telah membunuh tanpa hak, menyedekahkan 12.000 dirham pada kaum miskin.

Diriwayatkan dari Ibn Abi Malikah, itu adalah cerita yang termaktub dalam Ahkam al-Marjan fi Ahkam al-Jan karya Syaikh Muhammad Abdullah Al-Syibli.

Kisah-kisah lain yang menunjukkan bahwa bangsa manusia ber-mu’asyarah (berhubungan sosial?) dengan jin, langsung maupun tidak, bertebaran di berbagai literatur. Seperti misalnya kisah Khalid ibn Walid yang telah membunuh jin bernama ‘Uzza. Ini disebut dalam Sunan Kubra-nya Imam Al-Nasai. ‘Uzza adalah sosok jin dengan tampilan perempuan telanjang yang menjadi penunggu sebuah berhala; sesembahan kafir Quraisy yang kemudian diseru dengan nama yang sama (‘Uzza).

Lazimnya, orang ramai mengkategorikan jin sebagai “barang gaib”. Imam Al-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, menyebut jin sebagai bagian kecil dari Al-Arwah Al-Sufliyyah (roh tingkat rendah, yang untuk memerincinya konon memerlukan ribuan jilid kitab). Pendek kata, jin merupakan satu jenis alam yang diciptakan Allah; satu diantara jenis-jenis alam layaknya alam malaikat, alam manusia, alam hewan, alam bebatuan, alam tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Seluruh alam memiliki khushusiyah-nya masing-masing.

Jin disebut “gaib” oleh sebab ia seringkali tak dapat dicerna oleh penglihatan manusia. Jin disebut jin “li tawarihi min al-a’yun kama sumiya al-janin li hadzas sabab,” kata Imam Al-Razi. “karena makhluk itu tersembunyi dari penglihatan, seperti halnya janin (yang memiliki akar kata serupa) disebut demikian karena alasan yang sama.”

Saya pribadi belum pernah mencari tahu, apalagi mewawancarai, apakah Kuda (hewan) yang dihela Pak Kusir, yang mengantar saya ke kota pada hari minggu itu, dapat secara langsung melihat jin atau tidak? Yang jelas, Pak Kusir (manusia) sepertinya tak sanggup melihatnya.

Kenapa!?

Sebab kehalusan (raqiq) jasad jin atau karena mata kita yang terlalu dhaif. Satu hal yang pasti, yang tidak nampak di mata kita, belum tentu tidak ada. Sebilah jarum, kalau diletakkan pada jarak 1 Km, hampir pasti tidak ada mata yang sanggup melihat. Tapi tentu, bukan berarti jarum tersebut tidak wujud.

“Seperti udara,” kata Syeikh Al-Syibli, “ia memiliki kekhususan sedemikian rupa yang membuat mata kita tak sanggup melihat. Meski bukan berarti kita tidak bisa sama sekali melihatnya.”

Bagaimana cara melihat udara?

“Tebarkan debu!” seru sang Syeikh. “Dari situ kau dapat melihat jejak-jejaknya. Kau dapat memandangi bagaimana udara bakal meliuk-liukkan debu.”

Jin dengan demikian dapat dicerna oleh penglihatan manusia selagi terdapat sesuatu yang membuatnya jadi kasat (katsif). Atau bisa juga dengan memperkuat penglihatan manusia, melalui mekanisme-mekanisme tertentu, seperti saat mata yang rabun dapat dibantu dengan sebingkai kaca.

Dari sini kita tahu, proses melihat jin sebetulnya sangat alamiah. Itulah sebabnya terdapat orang-orang tertentu, tanpa atau dengan ritual yang tertentu pula, dapat memergoki jin dengan mata telanjang.

Itulah pula alasan kenapa Sayyidina Umar, bahkan sebelum beliau masuk Islam, dikisahkan pernah bertengkar dan berhasil membunuh jin dalam sebuah perjalanan menuju Syam. Konon, beliau dapat melakukan itu, dan kelak sampai ditakuti setan segala, sebab beliau punya perangai adil. Di tempat lain, untuk dapat berkomunikasi dengan jin, sejumlah orang tak perlu berlaku seperti Sayyidina Umar. Di tempat itu, mereka hanya butuh puasa dan atau membakar kemenyan.

Sebagai makhluk biasa saja, yang dapat disakiti dan menyakiti, yang bisa dibunuh dan membunuh, jin sesungguhnya adalah saudara tua manusia. Disebut demikian karena merekalah kaum pertama yang menghuni bumi. Sementara Adam, seperti diketengahkan Imam Al-Thabari, dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, adalah makhluk terakhir yang diciptakan Allah.

KH. Lukman Hakim Husnan, Dosen STAI Al-Lathifiyyah Palembang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *