Dalam rangka hari lahir ke-66 Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan hari lahir ke-65 Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Pengurus Walayah (PW) IPNU DIY dan PW IPPNU DIY menggelar Seminar Nasional “Pelajar, Budaya dan Aktivisme Digital” di Gedung Seminar Timur Fisipol UGM, pada Sabtu, (22/02/2020).
Narasumber yang hadir dalam acara ini adalah Muhammad Ali Ma’ruf (Author and Videograper Mojok) dan Amelinda Pandu Kusumaningtyaas (Pegiat CFDS, Central For Digital Society UGM) dan dimoderatori oleh Yuhri Ihsan (Direktur Lembaga Pers dan Media PW IPNU DIY).
Muhammad Ali Ma’ruf mengatakan dalam belajar dan mengenal berbagai gerak digitalisme dapat kita lakukan dari berbagai segi dan kegiatan sehari hari kita, bahkan patah hatipun dapat menghasilkan karya berupa buku yang dapat bernilai royalti yang tinggi.
“Ada langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan. Pertama, tahu diri. Mengetahui tentang diri kita dan identifikasi apa yang menjadi spesifikasi dari diri kita sendiri. Kedua, tidak membatasi diri dari lingkungan luar. Ketiga, mengetahui lingkungan sekitar akan sesuatu yang dapat diambil. Keempat, konten dapat tercipta dengan melibatkan keadaan personal kita, yang justru akan menambah daya tarik dan tentunya dengan penggunaan kata-kata yang baik dan unik. Kelima, perbanyak referensi, dengan itu kita dapat mengupdate berbagai istilah dan trend yang sedang ada, agar konten kita tidak ketinggalan jaman,” tegas Ali Ma’ruf.
Setelah itu, lanjut Ali, yang keenam adalah sudut pandang, dimana kita harus memiliki perspektif yang berbeda dan unik. Kita dapat mencari perspektif tadi dengan mengetahui diri sendiri. Sedangkan yang ketujuh adalah waktu. Dimana waktu real time dan timeless, real team yang sedang trend pada waktu tersebut, sedang timeless dapat diulang berkali-kali dalam pembahasannya. Isu dan personal digabungkan dengan isu yang sedang trend akan menciptakan konten yang bagus dan unik.
“Kedelapan, twist. Membuat suatu kejutan di akhir, agar konten terbaca lucu. Kesembilan, dibuat. Tanpa dibuat konten tidak akan jadi,” tegas Ali.
9 tips ini langsung mendapat aplaus luar biasa dari peserta.
Sementara itu, Amelinda Pandu Kusumaningtyaas menjelaskan bahwa aktivisme digital saat ini juga dapat mengakibatkan terlahirnya bullying di media sosial. Pembulian dapat terjadi akibat ketidaksesuaian keinginan nitizen. Kasus pembulian sendiri tercatat 50 % korban cyber bullying, dan 40% tidak dibantu oleh orang sekitar akan pembulian tersebut. Korban bullying sering disalahkan akibat perbuatannya sendiri, dan mengatakan bahwa hanya lelucon dan jangan mudah baper.
“Sebelum mengenal moral disangagement, masyarakat cenderung tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Kultur menyalahkan korban harus disudahi dengan literasi digital, agar mengetahui postingan mana yang sesuai dengan keadaan realitas,” tegas Amelinda.
Selain itu, Ummy Maryam selaku ketua PW IPPNU DIY menambahkan bahwa bullying merupakan hal yang sudah menjadi budaya negatif dan sebisa mungkin dapat diatasi dengan peningkatan aktivis anti bullying. (Ibran/Bangkitmedia.com)