Salah Memahami Akidah, Penyebab Orang Mudah Mengkafirkan

Akidah

Oleh: Isa Anshori, santri dan Mahasiswa di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta.

Akidah merupakan suatu hal yang sangat sensitif, setiap orang mempunyai akidah masing-masing yang diyakini kebenarannya. Akidah yang mereka yakini itulah yang akan terus dipegang sampai mereka yakin hal tersebut dapat menyelamatkan mereka di akhirat kelak. Namun bagaimana dengan akidah orang lain? bagaimana kita menanggapinya? lalu bagaimana jika ternyata akidah orang itulah yang dapat menyelamatkannya dan bukan akidah kita?

Bacaan Lainnya

Perbedaan takkan pernah musnah dari kehidupan di bumi ini, tinggal bagaimana kita mengantisipasi perbedaan tersebut. Banyak dari golongan kita ketika mendapati suatu perbedaan dalam aqidah sering kita bilang kafir, musyik dan lain sebagainya. Hal inilah yang terus menjadi pembicaraan hangat pada setiap kalangan manusia.

Sayyid Muhammad Bin Alawi al-Maliki salah satu ulama’ Saudi yang mendapat gelar Doktor pertama di Al-Azhar Kairo (Mesir), menulis kitab Mafahim Yajibu Antushahhah. Kitab ini ditulis karena banyaknya pemahaman-pemahaman di Saudi pada waktu itu yang berbahaya dan berusaha untuk diekspor ke Negara-negara tetangga. Dan peran dari mushannif sendiri ingin meluruskan pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan akidah.

Di dalam kitab tersebut, Sayyid Muhammad Bin Alawi al-Maliki mengatakan bahwa banyak orang-orang yang salah dalam memahami hakikat sebab-sebab seseorang keluar dari agama Islam karena hal itu orang mudah saling mengkafirkan, namun dengan rendah hatinya Sayyid Maliki tetap mendoakan semoga Allah memberi hidayah kepada mereka.

Salah satu pendapat musonif (pengarang kitab-red) terkait sebab-sebab seseorang mudah mengkafirkan adalah salah dalam memahami ayat 125 dari Surat An-Nahl:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS: An-Nahl [16]:125)

Mushannif berpendapat orang yang mudah mengkafirkan atau menyesatkan itu mungkin karena dorongan untuk amar ma’ruf nahi mungkar, orang yang mempunyai jiwa yang semangat dalam hal itu, tapi sayang Amar ma’ruf nahi mungkarnya tidak dilakukan dengan hikmah (bijaksana) dan Mau’idhotil hasanah (nasehat yang baik) yang sesuai dengan perintah Allah tersebut.

Gus Rumaizijat menambahkan penjelasan di kitab ini bahwasannya Nabi Muhammad SAW sendiri dakwah dengan cara halus tidak pernah kasar, kecuali pada saat-saat tertentu seperti pada saat perang “mosok kate perang kudu nganggo cara halus, nyuwun sewu jenengan bade kulo tusuk niki, angsal mboten nggeh ?. yo ditusuk disek sampean”.

Wala Tafarroqu, janganlah berpecah belah, yang sudah terpecah belah mari kita satukan, kita ini sama-sama dalam berpedoman Al-Qur’an dan Hadist yang beda cuma pemahamannya janganlah mendahulukan ego untuk mengatasi setiap masalah.

 

*Tulisan ini disarikan dari pengajian rutinan tiap hari Minggu di Pesantren An Nur Bantul oleh Gus Rumaizijat.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *