Salah Kaprah Memaknai Hijrah, Saatnya Belajar dengan Gus Baha

Salah Kaprah Memaknai Hijrah, Saatnya Belajar dengan Gus Baha

Salah Kaprah Memaknai Hijrah, Saatnya Belajar dengan Gus Baha.

Seiring dengan maraknya umat muslim belajar agama. Sampai-sampai ada yang “mem-proklamirkan” dirinya hijrah mengikuti sunah Nabi. Hijrahnya mereka dengan menggunakan atribut yang dianqggap sebagai sunah Nabi. Mulai dari jenggot, cingkrang, jubah, jidat dibikin hitam bahkan poligami. Semua ini “diikuti & diyakini” sebagai ajaran Nabi yang harus dilakukan untuk menunjukkan identitas keislaman. Bagi umat muslim yang tidak mengikuti semua ini dianggap tidak mengikuti sunah Nabi.

Akibat dari keyakinan itu akhirnya menjadi fanatik, kemudian merasa dirinya yang paling mengikuti sunah Nabi alias nyunnah. Sementara yang tidak mengikuti seperti mereka dianggap tidak Islami. Jadi, menurut mereka, Islam itu harus ditampakkan dengan atribut penampilan atau chasing. Mereka memunculkan image sendiri dengan penampilan demikian, “Kami yang sunah sementara kalian tidak mau sunah Nabi”. Sehingga yang beredar di masyarakat seolah merekalah pengikut sunah Nabi dan bagi yang secara penampilan tidak berjubah, tidak cingkrang, tidak jenggotan dan tidak jilbaban sampai lutut atau tak bercadar, dianggap Islam tidak sempurna alias tidak kafah (meyeluruh).

Apakah memang harus demikian menunjukkan identitas agama?

Apakah harus seperti itu yang dimaksud mengikuti sunah Nabi?

Menurut Al-Alim Gus Baha, menjelaskan sunnah Rasul itu harus yang komprehensif. “Jangan setengah-setengah. Apalagi hanya mengikuti yang enak-enak saja. Karena sunah Rasul itu banyak macamnya. Pakai surban itu sunah Rasul, pakai jubah ya sunah Rasul,” Selain itu jika memang bersungguh-sungguh dengan sempurna mengikuti Sunah Rasul, maka wajib melakukan semua yang pernah dilakukan Nabi. Seperti Nabi melakukan shalat saat kondisi perang dan situasi darurat, shalat dalam keadaan tekanan, pernah juga shalat dengan satu pakaian, nabi miskin, nabi tidak pernah mencela apa lagi meng-olok-olok, termasuk sunah Rasul kelaparan sampai mengganjal perut dengan batu.

Ngaku nyunnah masih takut laper, takut miskin, suka men tabdi, takfir,… nyunnah ajaran siapa?

“Seperti juga, sunah Rasul itu ketika dikejar-kejar sampai 10 tahun, tidak bisa makan sampai diganjal batu. Jalani itu semua selama 13 tahun jika ingin dikatakan sebagai umat muslim yang mengikuti Sunah Nabi. Loh, ini baru belajar Islam kok sok ngaku sunah Nabi,” Seperti poligami, katanya punya banyak istri itu sunah Rasul. Tapi jika mengikuti Sunah Nabi, maka istri pertama harus sudah meninggal seperti saat Rasulullah ditinggal mati oleh Sayidah Khadijah. Ini fakta Nabi melakukan poligami,” tegas Gus Baha.

Akhir-akhir ini marak umat Islam yang berpaham takfiri, yaitu golongan umat Islam yang mengkafirkan saudara sesama Islam. Menurutnya, apa yang tidak sesuai dengan Islam yang dipahaminya, dianggap kafir atau keluar dari Islam. Mengutip kajian Gus Baha, menurut beliau umat Islam (mukmin) harus diberitahu, bahwa, mereka dijamin masuk surga.

“Saya ingin menjadi marketing (baca: pedakwah) yang baik untuk mengimbangi yang di “sana” (agama lain). Kalau di sana umatnya selalu dikatakan “tenang bersama Bapa di surga”, maka, orang mukmin, harus saya katakan, “pasti masuk surga”. Kalau tidak, kita kalah”.

Gus Baha juga menyinggung munculnya firqoh-firqoh, termasuk firqoh yang sering men “tabdi” (bid’ah-bid’ahkan), takfiri mengkafir-kafirkan orang lain.

أن أعظم المسلمين جرما من سال عن شيء لم يحرم فحرم من اجل مسالت

“Sebesar-besar kejahatan muslimin (pada muslim lainnya) adalah yang mempermasalahkan suatu hal yang tidak diharamkan, Namun menjadi haram sebab ia mempermasalahkan.” (HR Bukhari).

Sayyid Alawi al Maliki menceritakan tentang sebuah hadis, “Dalam hadis shahih diceritakan bahwa ada seorang sahabat yang menjadi imam Masjid Quba yang setiap mengimami shalat bacaan surahnya (setelah fatihah) hanya surah Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad), lantas para sahabat mengadukan hal ini kepada Nabi. “Lantas ketika sahabat tersebut ditanya oleh Nabi SAW, “kenapa kamu kalau mengimami shalat selalu hanya pakai surah Al-Ikhlas ?”. Sahabat tersebut menjawab : “Li Annaha Sifaturrohman” karena di dalam surat Al-Ikhlas itu hanya ada sifatnya Allah dan tidak ada kepentingan siapapun disitu, maka dari itu saya senang membaca al Ikhlas. Lalu Nabi SAW berkata “Akhbirhu Fa Inallaha Yuhibbuh” (kasih tahu dia bahwa Allah SWT mencintainya).

“Dalam contoh ini bisa kita simpulkan bahwa hal tersebut dibenarkan Nabi tanpa ada pelajaran dari beliau, runtuhlah teori bid’ah adalah semua yang tidak pernah dilakukan dan diajarkan Nabi SAW, karena faktanya beberapa kali Nabi SAW membenarkan sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh beliau.”

Gus Baha lalu menekankan dengan kalimat : “Bid’ah yang pasti sesat itu adalah yang berhadap-hadapan dengan syariat, tetapi jika Bid’ah itu menguatkan syariat maka tidak musuhnya syariat tetapi malah menjadi bagian dari syariat.”

Mereka ini sering menyebut ‘musyrik’ ketika melihat ada orang membawa keris. Padahal, keris, itu hanya untuk ketenangan, sedangkan “KEIMANAN” tetap kepada ALLAH. Padahal ini (keris), jelas Gus Baha, sama saja dengan orang kota ketika membawa HP. Ketika mereka lupa membawa HP, juga tidak tenang.

Ada sebuah Hadist dari Ibnu Umar ra:

“Tahanlah dari kalian (jangan menyerang) orang ahli La ilaha ilallah (yakni orang muslim) janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa” pada versi yang lain “janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu perbuatan”. (HR Ath-Thabrani).

Gus Baha juga menyinggung kelompok yang rajin mengkritik tradisi salaman-salaman usai salat dan wirid bersama.

Mengapa yang dikritik bukan orang yang buka HP usai salat.

Banyak ritual-ritual agama yang sudah diamalkan umat Islam di Indonesia, diniliai sebagai ritual yang sesat, lebih parahnya mereka dianggap kafir. Padahal ritual tersebut sudah tertanam lama di bumi Nusantara, seperti tahlilan, selametan, manaqiban, mauludan, dan ritual agama yang lainnya.

Lantas, bagaimana menanggapinya? Saya jadi ingat dawuh Gus Baha di salah satu pengajiannya. Kata beliau, “Kalau dikafirkan orang tidak mesti kafir (keluar dari Islam), tenang aja”.

Beliau memberi contoh bahwa Nabi Musa saja dianggap kafir oleh Fir’aun. Lalu beliau membacakan satu ayat:

وفعلْت فعْلتك الّتي فعلْت وأنت من الْكافرين

“Kamu (Musa) telah melakukan perbuatan yang telah kamu lakukan, dan kamu termasuk golongan yang kafir.” (Qs Asy-Syu’ara: 19).

Untuk memahami konteksnya, ayat tersebut adalah penggalan cerita ketika Nabi Musa diutus untuk mendatangi Fir’aun. Dalam Firman-Nya, Allah memerintahkan Nabi Musa : “Datangilah kaum yang zalim itu”. Tetapi Nabi Musa takut jika kaum Fir’aun mendustakannya.
Ketakutan yang dirasakan Nabi Musa membuat dadanya terasa sempit dan lidahnya tidak lancar. Akhirnya Nabi Musa meminta kepada Allah agar ditemani oleh Nabi Harun.

Nabi Musa takut dibunuh ketika mendatangi Kaum Firaun. Ketakutan tersebut muncul karena dianggap bersalah oleh kaum Fir’aun karena telah “meninju” salah satu kaumnya.

Menurut Al-Qurthubi Nama orang tersebut adalah Fatsaur, akhirnya dia mati karena tinju Nabi Musa. Sebab “pemukulan” itu, Nabi Musa melarikan diri dari Mesir.

Kemudian Allah memerintah Nabi Musa untuk tidak takut, karena Allah sudah menjaminnya. Singkat cerita, Nabi Musa dan Nabi Harun mendatangi Fir’aun, lalu Allah menyuruh untuk berkata, “Sesungguhnya kami adalah utusan dari Tuhan semesta alam, dan bebaskanlah Bani Isra’il pergi bersama kami”.

Lalu Fir’aun menjawab, “Bukankah kami telah mengasuhmu dalam lingkungan (keluarga) kami waktu kanak-kanak, dan kamu berada dalam asuhan kami selama beberapa tahun?”. Lalu Fir’aun berkata lagi, “Kamu (Musa) telah melakukan perbuatan yang telah kamu lakukan, dan kamu termasuk golongan yang kafir”

Menurut Tafsir at-Thabari, ulama’ ahli ta’wil berbeda pendapat tentang kata ‘kafir’ dalam ayat ini. Menurut sebagian ulama, ‘kafir’ dalam ayat ini dimaknai:

وأنْت منْ الْكافرين بالله على ديننَا

“Kamu termasuk orang-orang yang keluar dari agama kami”

Intinya Nabi Musa juga pernah “dikafirkan” oleh Fir’aun, jika yang mengkafirkan tersebut menurut “subyektivitas manusia” termasuk Fir’aun maka tidak berkonsekuensi masuk neraka.

“Kalau kafir menurut subyektivitas masing-masing kelompok, maka tidak ada kepastian (masuk neraka), tidak punya akibat apa-apa”.
Gus Baha’ melanjutkan, “Berarti kamu kalau dikafirkan, maka seperti Nabi Musa as. Lantas yang mengkafirkan seperti?” (Ya Fir’aun, hehe).

Demikian makna salah kaprah memaknai hijrah, saatnya belajar dengan Gus Baha, semoga bermanfaat.

Penulis: Musa Muhammad.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *