TANGGAL 16 Januari 2025 Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 102 tahun. Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan ulama, didirikan oleh sejumlah kiai di Jawa Timur pada 16 Rajab 1344 H. Tokoh penting sebagai pendiri utama adalah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Bisri Syansuri. Tujuan NU, sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar NU Pasal 8 ayat (2) yakni berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta. Selaras dengan tujuan tersebut, tema yang diangkat pada Hari Lahir (Harlah) ke-102 ormas keagamaan terbesar itu adalah “Bekerja Bersama Rakyat untuk Indonesia Maslahat.”
Aktualisasi Aswaja
Aswaja adalah nilai unggulan NU yang membedakannya dengan organisasi keagamaan lainnya di Indonesia dan dunia. Dalam pengertian klasik Aswaja diartikan sekelompok orang yang mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang hukum, dan bertasawuf sebagaimana diajarkan oleh Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Jika selama ini warga NU memaknai Aswaja dengan mengikuti apa saja yang telah dihasilkan dan dipraktikkan ulama terdahulu, maka untuk mewujudkan Indonesia maslahat, Aswaja harus dipahami secara kontemporer sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir) yang berlandaskan sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleransi).
Pertama, tawasuth yakni sikap keberagamaan yang tidak terjebak pada titik-titik ekstrem. Melalui sikap ini, setidaknya mampu mengambil setiap kebaikan dari berbagai kelompok. Kemampuan untuk mengapresiasikan kebaikan dan kebenaran dari berbagai kelompok memungkinkan NU untuk tetap berada di tengah. Kedua, tawazun yakni sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan kemudian mengambil posisi seimbang dan proporsional. Ketiga tasamuh, yakni sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menghargai kebhinekaan. Keragaman hidup menuntut kesanggupan untuk menerima perbedaan dan menghadapinya secara toleran, dengan tetap diimbangi oleh keteguhan sikap dan pendirian. Sikap toleransi ini sering diwujudkan NU dalam kegiatan yang melibatkan warga lintas suku, ras, dan agama. Inilah yang menjadi kekuatan besar NU sehingga dapat diterima dan memayungi semua kelompok masyarakat. Pemaknaan Aswaja seperti ini juga menjadikan Islam yang dihadirkan NU dapat diterima siapa saja di bumi Nusantara ini.
Mendampingi Umat Menggapai Maslahat
Secara embrional, berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dari tiga gerakan yang lahir sebelumnya, yaitu nahdlatul wathan (kebangkitan tanah air), tashwirul afkar (kebangkitan intelektual) dan nahdlatut tujjar (kebangkitan ekonomi). Tiga pilar ini menjadi sumber inspirasi dan motivasi kebangkitan NU sepanjang masa untuk memainkan peran vitalnya.
Dalam mewujudkan kebangkitan tanah air, NU telah ikut berperan aktif membebaskan bangsa dari hegemoni kolonial, mendampingi dan mencerdaskan umat, menegakkan moral dan mengedepankan politik kebangsaan yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Kebangkitan intelektual dilakukan dengan mendirikan ribuan pesantren dan lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Melalui lembaga-lembaga ini NU berperan mencerdaskan bangsa sekaligus mempromosikan nilai-nilai pluralisme dan nasionalisme dalam pendidikan. Dari lembaga itu pula telah terlahir ribuan kiai dan sarjana dalam berbagai bidang keilmuan. Sedangkan untuk kebangkitan ekonomi, NU telah banyak melakukan pemberdayaan ekonomi keumatan dengan mendirikan berbagai usaha ekonomi produktif sebagai upaya menuju kemandirian ekonomi. Namun harus diakui usaha ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Mengatasi kekurangberhasilan tersebut perlu grand design, baik model maupun modal pengembangan ekonomi yang tersusun rapi sehingga gerakan ekonomi NU tidak hanya bersifat sporadis. Kedua, membuka dan memperkuat akses dan jejaring usaha. Warga NU harus menjadi bagian kekuatan produsen dan bukan hanya sebagai konsumen. Dan ketiga, orientasi politik yang selama ini masih mendominasi kalangan elite NU harus dikurangi. Selamat Harlah NU ke-102, semoga NU tetap konsisten menjaga kultur keislaman dan keindonesiaannya serta mandiri secara ekonomi. (*)
Penulis Prof.Dr. H. Riyanta MHum, Ketua CNU Bantul dan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kaljaga Yogyakarta.