Pemimpin adalah cermin rakyatnya. Yang paling penting kita ketahui bahwa pemimpin adalah cerminan rakyatnya, keadaan masyarakat sangat berpengaruh besar dalam melahirkan siapa pemimpinnya.
Maka, jika masyarakatnya baik pasti akan melahirkan pimpinan yang baik, sebaliknya jika masyarakatnya tidak baik maka akan melahirkan pimpinan yang tidak baik pula, jadi semua tergantung pada kita sendiri.
Mustahil kita memiliki pimpinan atau wakil-wakil rakyat yang baik jika kita sendiri tidak berusaha menjadi orang yang baik. Sebagaimana konsep yang ditegaskan dalam Hadits riwayat Ad-Dailamy :
كما تكونون يُولَّى عليكم
“Bahwa kalian akan diberi pemimpin sesuai kondisi dan sifat kalian”.
Makanya dalam kitab :
شذرات الذهب في أخبار من ذهب
dikisahkan bahwa ada lelaki yang bertanya dengan nada kritis pada Sayyidina Ali RA,
“Ya Amirol Mu’minin! Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat Kholifah kondisi pemerintahan kondusif dan aman, namun saat dirimu dan Usman menjabat jadi Kholifah kondisinya kacau dan tidak aman?”
فقال عليّ رضي الله عنه :
إن ابا بكر وعمر كنتُ انا وعثمان من أعوانهما وكنتَ انتَ وامثالكما من أعواني وأعوان عثمان.
Jawab Sayyidina Ali RA :
“Itu karena saat Abu Bakar dan Umar menjabat Kholifah yang menjadi rakyatnya adalah orang seperti saya dan usman. Sementara saat Aku dan Usman menjabat Kholifah yang menjadi rakyatnya orang yang seperti kamu.”
Maka untuk menjadi rakyat yang baik kita harus taat pada pemerintah, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin sesuai keputusan hasil pemilu meskipun mungkin dari calon yang kita pilih.
Kita harus tunduk pada pemerintahan yang sah selama aturannya bukan hal kemaksiyatan. Seperti perintah Nabi dalam Hadits Muslimnya :
يا ابا هريرة عليك بالسمع والطاعة في عسرك ويسرك و منشطك ومكرهك واثرة عليك
“Wahai Abu Hurairoh! Kamu harus tunduk dan patuh dlm kondisi apapun, bahkan saat pemerintah memonopoli untuk golongannya sendiri”.
Dan kita tidak boleh makar atau memberontak pada pimpinan pemerintahan yang sah, kecuali jika kita ketahui mereka melakukan kekufuran yang nyata;
إلا ان تروا منهم كفرا بوّاحا
Karena dalam sebuah Hadits, Rosulullah mengancam bagi kelompok yang memberontak pemerintah yang sah dengan ancaman yang menakutkan;
ليس احد يفارق الجماعة شبرا فمات الا مات مِيتة جاهلية
“Bahwa tidak ada sesorang yang makar atau keluar memisahkan diri dari pemerintahan yang sah lalu meninggal kecuali ia meninggal dalam keadaan su’ul khotimah.” Wal iyadz billah.
Hal ini tidak ada lain karena agama Islam memandang bahwa menjaga keamanan dan kestabilan negara dan pemerintahan jauh lebih penting dari pada perpecahan yang tidak ada ujungnya;
إمام غَشوم خير من فتنة تدوم
Sekian, mohon maaf atas kekhilafan.
Penulis: KH Ahmad Dawam Afandi, Tuban.