Surabaya.bangkitmedia. Dalam Seminar dan Peluncuran buku “Membuka Ingatan, Memoar Tokoh NU yang Terlupakan” yang diterbitkan Pustaka Tebuireng, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid duduk bersama Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Masdar Hilmy, MA., Ph.D. dan Ketua PCNU Surabaya sekaligus Direktur Museum NU, Dr. H. Muhibbin Zuhri, M.Ag. Acara ini diadakan di Aula Gedung B Twin Tower Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya pada Selasa (11/04/2017).
Ketika membuka sesi seminar, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid ini menjelaskan, bahwa di antara yang hadir disini, pasti tidak banyak yang kenal dengan tokoh-tokoh yang diulas dalam buku ini. Tokoh-tokoh yang dibahas adalah tokoh-tokoh yang berjuang dalam NU untuk menghidupkan NU bukan mencari Hidup di NU.
“Sekarang kan banyak yang tidak membesarkan NU, malah mengecilkan NU,” kata Gus Sholah, sapaan akrabnya yang disambut tawa hadirin.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Husen Aziz, M.Ag., memberikan pesan kepada para pembaca akan tidak hanya membaca buku tersebut secara tekstual, tetapi mampu membaca hal-hal yang tidak tertulis dalam buku ini.
“Saya yakin masih banyak hal yang tidak tertulis dalam buku ini,” ungkap Prof. Husen Aziz.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor UINSA Prof. Dr. Abdul A’la mengatakan bahwa Pustaka Tebuireng sangat tepat di masa sekarang menerbitkan buku tentang tokoh-tokoh yang dikenal secara banyak di khalayak umum. Padahal menurutnya tokoh-tokoh seperti Bu Asma Syahruni, Dr. Fahmi D. Saifuddin, KH. Tholhah Mansur, Subhan ZE., dan Zamroni adalah tokoh-tokoh yang patut menjadi inspirasi bagi generasi sekarang, khususnya di NU dan organisasi kemahasiswaan. Hal itu dikarenakan, bagi Prof. A’la semua tokoh tersebut adalah orang-orang yang ikhlas dalam membangun NU dan Bangsa.
Tidak diundang sebagai narasumber, Bu Nyai Farida Salahuddin Wahid diminta secara langsung oleh Prof. A’la untuk menjadi narasumber “dadakan”. Bu Nyai menceritakan pengalaman dan cerita yang beliau alami sendiri bersama beberapa tokoh yang diulas dalam buku itu, seperti Ibu Asma Syahruni yang merupakan senior beliau di Muslimat NU dan Dr. Fahmi D. Saifuddin yang merupakan kakak kandung beliau.
Beliau bercerita menganai bagaimana ibu-ibu muslimat era 60-70 an seperti Ibu Asma Syahruni, Ibu Saifuddin Zuhri, Ibu Solichah Wahid, dan beberapa tokoh pejuang perempuan lain melalui muslimat NU telah benar-benar memikirkan perempuan era itu. Bahkan menurut cerita beliau, saat diskusi mereka berdebat hingga menggebrak-gebrak meja tetapi ketika keluar mereka kembali lagi menjadi sahabat, kawan, dan teman berjuang.
Sebagai mantan aktivis dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ketua PCNU Surabaya, Dr. H. A. Muhibbin Zuhri mengatakan bahwa para aktivis yang disebutkan di buku ini adalah orang-orang yang tidak memikirkan kepentingan sendiri. Beliau juga mengkritik PMII dan organisasi kemahasiswaan lain di era sekarang ini, yang memdoktrin kader-kadernya menjadikan orientasinya berorganisasi adalah memasuki dunia politik. “Kok tidak ada ya aktivis sekarang yang mau jadi imam masjid gitu,” kelekar Direktur Museum NU Surabaya, sontak membangunkan tawa hadirin.
Mejadi narasumber pemungkas, Wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Masdar Hilmy, M.A. Ph.D sangat mengapresasi terbitnya buku ini. Buku ini menurutnya layak untuk dibaca, karena tim Pustaka Tebuireng tidak hanya menjelaskan kebaikan-kebaikan dan peran-peran tokoh yang ditulis, tetapi juga menceritakan sisi negatif dan sisi lain yang menarik dari tokoh-tokoh tersebut. Prof. Masdar bahwa genarasi sakarang harusnya adalah yang mampu keluar untuk melawan resiko, bukan yang memanjakan diri denga perkembangan teknologi yang semakin masif.
Selain dihadiri narasuber dan pimpinan UIN dan Pascasarjana UIN, seminar dan bedah buku hasil kerjasama Pustaka Tebuireng , Pascasarjana UIN Surabaya, dan Komunitas Baca Rakyat (Kobar)ini, juga dihadiri oleh mantan Rektor IAIN Surabaya yang juga alumni Tebuireng Prof. Dr. H. Ridlwan Natsir dan Guru Besar Unsuri Prof. Dr. Ali Haidar. Sekitar 150 Peserta memenuhi raungan Aula Pascasarjana UIN SA, bahkan ada beberapa yang berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk. (Abror/Rokhim)