Puisi Ibu Karya WS Rendra Febriyanto7 Februari 20207,405 views Sajak IbundaMengenangkan ibuadalah mengenangkan buah-buahan.Istri adalah makanan utama.Pacar adalah lauk-pauk.Dan Ibuadalah pelengkap sempurnakenduri besar kehidupan.Wajahnya adalah langit senja kala.Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.Suaranya menjadi gemadari bisikan hati nuraniku.Mengingat ibuaku melihat janji baik kehidupan.Mendengar suara ibu,aku percaya akan kebaikan manusia.Melihat foto ibu,aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,aku pun ingat kamu juga punya ibu.Aku jabat tanganmu,aku peluk kamu di dalam persahabatan.Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masingyang selalu, bagai bumi, air dan langit,membela kita dengan kewajaran.Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.Demikian pula koruptor, tiran, fasis,wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,mereka pun punya ibu.Macam manakah ibu mereka?Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasikemelaratan rakyat,lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,sementara orang desa yang tanpa tanahjumlahnya melimpah.Kini aku kaya.Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung bakal kuburanmu nanti.”Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.Tetapi lalu bagaimana sang anakakan menerangkan kepada ibunyatentang kedudukannya sebagai tiran, koruptor, hama hutan, dan tikus sawah?Apakah sang tiran akan menyebut dirinya sebagai pemimpin revolusi?Koruptor dan antek modal asing akan menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?Dan hama hutan serta tikus sawah akan menganggap dirinya sebagai petani teladan?Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?Mungkinkah seorang ibu akan berkata:“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.Jagalah dadamu terhadap hawa malam.Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.O, ya, kalau nanti dapat amplop,tolong belikan aku udang goreng.” Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.Kamu adalah tugu kehidupanku,yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.Kamu adalah Indonesia Raya.Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.Kamu adalah hutan di sekitar telaga.Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.Kamu adalah kidung rakyat jelata.Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.Pejambon, Jakarta, 23 Oktober 1977 Pos terkaitLuar Biasa! Santriwati Krapyak Dalami Kehidupan di Chicago ASNyantri Kilat: Solusi Digital Mengaji ala PesantrenKemeriahan Acara Sapa Santri ‘Halaqah Muda Menuju KUPI 2’ Oleh Dr Nur Rofi’ah Bil UzmRahmatan Nazila: Hafidzoh 30 Juz Pondok Pesantren Binaul UmmahPendidikan Perempuan dalam IslamFeminisme dan Sensitivitas Ta’lim Muta’allim Terhadap Perempuan