Yogya, Bangkitmedia.com – Keberhasilan demokrasi di Indonesia tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan sosial apa yang memungkinkan pencapaian tersebut. Jawabannya, menurut Prof Robert W. Hefner, meskipun seluruh proses konsolidasi demokrasi dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, namun satu hal yang pasti adalah bahwa NU, dengan perkiraan pengikutnya 90-100 juta, telah memainkan peran yang sangat penting dalam keberlanjutan pencapaian demokrasi di negara ini.
Hal itu diungkapkan Gurubesar Boston University USA pada Halaqah Strategi Peradaban Nahdlatul ‘Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Senin 29 Januari 2024. Halaqah yang digelar usai pembukaan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul ‘Ulama ini dalam rangka memperingati Hari Lahir ke-101 Nahdlatul ‘Ulama (Harlah 101 NU).
Saat berbicara tentang “Kepemimpinan Moral Pada Titik Kritis: Fikih Peradaban Nahdlatul ‘Ulama, untuk Persamaan Hak dan Melawan Politik Identitas Agama sebagai Senjata Politik”, Prof Hefner mengungkapkan, sejak NU berdiri tahun 1926 hingga masa reformasi saat ini, para pemimpin NU telah mendedikasikan diri mereka bukan untuk mendirikan negara Islam, melainkan memberi perhatian terhadap masyarakat Indonesia yang multiagama, berdasarkan prinsip ketuhanan, misal peran agama dalam kehidupan masyarakat, dan iklusivitas Pancasila.
Lebih jauh Prof Hefner mengatakan, ragam covenantal pluralism di Indonesia ini pertama kali diutarakan oleh salah satu pendiri dan ulama NU, yaitu Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Pada awal tahun 1926, mbah Hasyim telah menerbitkan dokumen dasar yang menyatakan dengan jelas dukungan organisasinya terhadap prinsip-prinsip nasionalisme inklusif dan multiagama.
Meski persaingan Pemiu pada tahun 1950an dan awal tahun 1960an menguji komitmen Indonesia terhadap toleransi beragama, tradisi ini bangkit kembali dan berkembang sejak akhir tahun 1970an dan seterusnya, hingga mencapai puncaknya ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memegang kepemimpinan Tanfidziyah PBNU pada tahun 1984.
“Saya mengenal Gus Dur dengan baik dan menganggapnya sebagai teman, guru, dan mentor spiritual. Gus Dur kemudian mentransformasikan NU menjadi lokomotif reformasi demokrasi. Di antara banyak prestasi penting yang diraihnya adalah usulan reformulasi etika dan hukum Islam (fikih) yang sejalan dengan demokrasi dan toleransi antarumat beragama yang mengadopsi pada Konferensi Besar NU di Lampung pada tahun 1952. Proyek mulia ini kemudian diupayakan oleh para pemimpi NU lainnya, serta diperluas dan diperdalam di bawah kepemimpinan Ketua Tanfidziyah NU saat ini, KH Yahya Cholil Staquf,” papar Prof Hefner.
Hal itu sejalan dengan Trilogi Ukhuwah yang berisi tentang Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara), Ukhuwah Insaniyah (Persaudaraan sesama manusia). Trilogi Ukhuwah dicetus oleh KH. Achmad Shiddiq saat menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1989.
“Dukungan NU terhadap tiga Ukhuwah mendasari komitmen utuh organisasi ini terhadap cita-cita luhur demokrasi nasionalisme NKRI dan humanitiy Islam,” pungkas Prof Robert. (Lutfi/Bahtiar Yusuf Efendi)