Perihal Kitab Kuning (Klasik)
Sudah puluhan tahun aku tertarik kepada kitab kuning (kitab klasik) karena kandungannya yang luar biasa. Tapi dua sampai tiga puluh tahunan yang lalu, di kalangan akademisi di negeri kita, kitab-kitab itu tidaklah seksi dan menarik, karena kebanyakan para intelektual kita telah terhipnotis oleh karya-karya Barat yang modern.
Antara tahun 1988-1990 (30 tahunan yang lalu) aku dan kawan-kawan mahasiswa di Universitas Chicago, sedang asyik-asyiknya mengaji kitab-kitab seperti itu (113 kitab) di bawah bimbingan prof Widad Kadi, baik kitab hadis, seperti Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar, al-Wafi bil wafayat, karya al-Safadi, kitab al-Majruhin min al-muhadditsin wal-dha’fin, karya Ibn Hibban, atau kitab-kitab tafsir (Ibn Atsir, al-Thabari, al-Razi juga Raghib al-Isfahani (kitab al-Ghara’ib fil-Qur’an al-Karim), dll.
Selain itu kitab-kitab sartra (seperti Diwan al-Mutanabbi, Al-Maqamat karangan al-Hariri, dll, kitab filsafat dan kedokteran (kitab ‘Uyun al-Anba’ fi thabaqat al-Athibba karya Ibn Abi ‘Ushaybi’ah, al-Fihrist karya Ibn Nadim, Nuzhat al-Arwah wa rawdat al-Afrah, karya Sahrazuri, Al-Hikmah al-khalidah karya Miskawayh, dalam bidang Zoologi, seperti kitab al-hayawan karya al-Jahizh, Hayat al-Hayawan al-Kubra karya al-Damiri, dan al-Jami’ limufradat al-aghdziyah wal-adwiyyah di bidang Farmakologi, kitab al-Jawahir fi al-Jamahir karya al-Biruni di bidang minerologi, karya-karya politik termasuk Nasihat al-muluk karya al-Ghazali dan al-Ahkam al-sulthaniyyah karya al-Mawardi, dan banyak lagi yang lainnya).
Sudah lama ada keinginan untuk memperkenalkan karaya-karya klasik ini ke publik dengan cara yang lebih langsung (tidak hanya melalui tulisan-tulisan ilmiahku) dan menarik. Tapi belum terpikir bagaimana caranya?
Untunglah Gus Ulil Abshar Abdalla, memiliki ide yang cemerlang dalam mempelopori pengajian digital Ihya’ ‘Ulum al-din, para intelektual kita dan kaum milenial mulai mengenal “lezat”nya karya-karya klasik tersebut, hikmah serta kedalamannya.
Pengajian lewat media sosial yang dipelopori Gus Ulil (dan kita semua wajib berterima kasih kepada inisiatif beliau), diikuti oleh kaum cendikiawan lainnya antara lain Mukti Ali Qusyairi (salah seorang mahasiswaku?) yang sedang giat-giatnya mengkaji kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah karya al-Mawardi dan Dr Iding Rasyidin (juga mahasiswaku yang lain) dengan kitab yang lain lagi.
Pengenalan semacam ini perlu terus digalakkan (dan diperluas bidang) penyiarannya sehingga banyak kaum cedikia dan kawula muda kita terekspos kepada tradisi ilmiah Islam yang amat kaya, dengan mana kita berharap tumbuhnya tasa cinta yang tulus (tanpa prasangka) kepada khazanah intelktual Islam yang kita cintai, tanpa menyingkirkan yang lain tentunya!!
Semoga bermanfaat.
(Prof Mulyadhi Kartanegara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)