Butuh isu baru buat nenggelamin polemik kafir, kira-kira apa ya? Nggak penting blass. Mau sebacod apapun kamu untuk memahamkan dia tetap saja dia tidak akan paham, boleh saja dia; 1. Enggan membaca postingan di NU online tentang keterangan kafir dan beberapa yang melatarbelakanginya 2. Karena dia tidak sekubu baik itu dalam hal politik, golongan dll 3. Sok pintar.
Sebaiknya kita sudahi saja, apalagi Gus Rumadi Ahmad sudah menjelaskan bahwa itu bukan fatwa yang harus diikuti tapi sebuah keputusan Musyawarah dan NU nggak pernah memaksa untuk diikuti. Tentunya namanya Musyawarah orang yang di luar forum pasti ada yang tidak sepakat dengan alasan dan pertimbangan-pertimbangan lain. No problem.
Banyaknya perbedaan pendapat ini sebaiknya dijadikan sebuah kekayaan khazanah keilmuan, bukan menjustifikasi orang lain salah dan saya yang benar. Bukan dijadikan alat untuk membodoh-bodohi orang, emangnya kamu aja yang pintar. Banyak pak.
Kita sering nggak sadar, bahwa masih banyak persoalan di negeri ini selain memperdebatkan kafir, yaitu persoalan fakir. Lebih-lebih fakir ekonomi, banyaknya ketimpangan sosial dll. Bukan sesuatu yang tidak mungkin, jika banyaknya kefakiran ekonomi di negeri ini menyebabkan kefakiran ilmu. Putus sekolah karena ekonomi, keluarga berantakan karena ekonomi. Kefakiran dimana-mana menggandrungi rakyat.
Kita para pesohor yang kaya ilmu dan kaya harta bukan sibuk memikirkan dia rakyat fakir miskin tapi malah sibuk berdebat soal kekafiran bukan berdiskusi soal kefakiran yang terus melanda rakyat. Yang paling berat memang ketika kita sudah kaya ilmu dan kaya harta tapi tidak bisa kaya hati. Sehingga pengetahuan itu hanya soal di atas kertas bukan pengetahuan di dalam hati. Kekayaan hanya soal harta benda dan uang bukan kekayaan hati.
Boleh kita pintar berdebat, boleh kita kaya harta seabrek-seabrek kekayaan. Tapi ingat kepintaran dan kekayaan yang tidak turun ke hati akan membuat kita justru terombang-ambing dalam kesengsaraan.
Malang 06-Maret-2019
Penulis: Moh Syahri.