Persekusi Syekh Jaber dan Sejarah yang Terus Berulang.
Hari-hari lalu kita dikagetkan dengan berita persekusi terhadap Dai kondang Nusantara, Syekh Ali Jaber di Masjid Falahudin, Lampung. Entah apa motif dari pelaku, tapi ini sungguh kejadian yang membuat kita harus berpikir keras, apa solusi terdekat yang mungkin untuk direalisasikan?
Tahun 1997, Syekh Muhammad Husein al-Dzahabi, penganggit al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, mengkritik keras kelompok Ikhwanul Muslimin dalam sebuah artikel yang dimuat di salah satu Surat Kabar Mesir. Akibat kritikannya itu, ia dibunuh oleh seorang pemuda berumur 23 tahun yang sedang ‘gandrung’ dengan pemikiran Sayyid Quthb dan Abu al-A’la al-Maududi.
Imam Besar Masjidil Haram, Syekh Abdurrahman Sudais, tahun 2014 kemarin, juga pernah mengalami percobaan pembunuhan oleh kelompok ekstremis “Sel Herazat”. Kegeraman mereka terhadap Syekh muncul karena dinilai terlalu longgar dan toleran dengan Israel dalam khutbah-khutbahnya.
Dua tahun berselang, di Mesir, Syekh Ali Jumah mendapat serangan tembakan oleh ISIS menjelang beliau berkhutbah. Beruntungnya beliau selamat. Sebelummya, tahun 2013, Syekh Ramadhan al-Bhouti meninggal karena bom bunuh diri.
FANATISME MENJADI MOMOK
Imam Abu al-Hasan al-Syadzili dalam al-Thabaqât al-Syâdziliyyah al-Kubrâ mengatakan, seorang alim—dalam pangkat keilmuannya—belum sempurna sebelum diuji dengan empat perkara: kegembiraan musuh (karena cobaan yang menimpa), celaan kawan, ujaran kebencian dari orang bodoh, dan kecemburuan ulama. Lebih-lebih, jika seorang alim mempunyai ‘ketergelinciran’ ucapan.
Tidak ada yang lepas dari kekeliruan kecuali al-Quran dan Hadis Nabi. Kanjeng Nabi saja yang ucapannya adalah wahyu dan mendapat jaminan terjaga (ma’sum), tetap mempunyai musuh. Sebagai publik figur yang laku kesehariannya menjadi sorotan, seorang ulama tak luput dari kesilapan.
Menurut Imam al-Munawi, ulama layaknya seseorang yang duduk di atas singgasana besar, sementara di bawahnya rupa-rupa manusia yang melihat. Ada pesaing, komentator, kritikus, penjilat, pecinta dan pembenci.
Dengan berbagai motif maupun latarbelakang, hakikatnya sudah terjadi ratusan kasus—bahkan mungkin ribuan kasus persekusi terhadap ulama: entah itu kasus berat maupun ringan. Entah motif ideologis maupun politis. Pelakunya juga tidak terbatas kalangan awam yang kita semati teroris, bahkan kerap muncul dari sesama ulama berpengaruh.
Sebagaimana motif ideologis yang berbuah aksi ekstrem, efek persaingan juga sejatinya sangat perlu diwaspadai. Ancaman terhadap ulama dengan motif kedua, bukan hal baru dalam sejarah panjang kita.
Seperti kasus yang terjadi pada imam kita, Muhammad bin Idris As-Syafi’i, atau yang masyhur dikenal dengan nama Imam Syafi’i. Ini merupakan versi lain dari meninggalnya sang Imam—yang dalam satu riwayat lain, beliau terkena penyakit wasir.
Dalam al-Adâb al-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih diceritakan, Ibnu al-Hakam mengatakan: “Aku mendengar Asyhab bin Abdul Aziz mendoakan kematian Imam Syafi’i. Aku menduganya (diucapkan) pada saat sujud beliau.”
Asyhab adalah seorang Malikian fanatik. Dengan munculnya tokoh baru yang mempunyai pengikut fantastis, beliau khawatir hilangnya madzhab Imam Malik. Mendengar kabar dirinya didoakan kematian oleh Asyhab, Imam Syafi’i bersenandung:
Ada orang yang menginginkan kematianku, dan kalaupun aku benar mati # Itu merupakan jalan yang semua orang mengalami
Katakan pada orang yang berharap suatu yang berbeda # bersiaplah engkau menghadapi kematian serupa yang pasti akan datang
Dalam kitab Tuhfat al-Muhtâj dan Bujairami Ala al-Khatîb dikatakan, sang Imam meninggal karena pukulan keras. Siapa yang memukul beliau? Imam Bujairami mengatakan, yang memukul adalah Asyhab, Malikian fanatik yang mendoakan kematian sang Imam.
Imam Syafi’i dipukul saat mengalahkannya berdebat. Asyhab emosi, kemudian memukulkan kunci pada jidat sang Imam. Pukulan ini yang menyebabkan beliau meninggal. Meskipun pendapat yang masyhur, yang memukul beliau adalah pemuda belia dari Maghrib.
Kita bisa melihat, motif persaingan (politis) bisa berujung serius. Pesaing keilmuan memang cukup merepotkan. Disebutkan, al-mu’âshir lâ yunâshir (ulama yang semasa tidak akan saling mendukung, bahkan saling menjatuhkan).
Penilaiannya cenderung tidak objektif dan lebih karena motif kecemburuan. Mengantisipasi hal itu, Ibnu Abd al Barr, dalam Jâmi’ al Ulûm wal Hikam, membuat satu fasal sendiri bertajuk “hukm qawlil ulamâ ba’dlihim fî fa’dlin” (menyikapi opini negatif ulama terhadap ulama lain).
Ibnu Abbas mengatakan, “Cukup dengarkan ilmu ulama. Namun jangan percayai opini negatif satu ulama terhadap ulama lain.”
Dalam riwayat lain, “ambil ilmu dari mana saja. Namun jangan makan mentah mentah serangan satu fakîh ke fakîh lainnya.” Pasalnya, menurut Ibnu Abbas, mereka itu saling mencemburui layaknya kambing jantan yang bercampur dalam satu kandang. Ketika kecemburuan dan fanatisme ketokohan ini dipupuk, maka besar kemungkinan akan memunculkan reaksi yang berbahaya.
KONFLIK ANTAR ULAMA
Sebenarnya konflik antar ulama tidak selalu berakibat negatif. Banyak persaingan antar ulama yang justru jadi pelecut produktivitas mereka, dan tentu saja bisa menjadi hidangan lezat bagi generasi paska mereka.
Di antara konflik yang bagi penulis positif adalah konflik antara Imam Syamsuddin As-Sakhawi dengan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Keduanya adalah murid Ibnu Hajar al-Asqalani (Imam Suyuthi bertemu Ibnu Hajar saat masih kecil).
Begitu tertariknya ia pada Ibnu Hajar, sampai ketika minum Air Zamzam, Imam Suyuthi meniatkan agar kemampuan hadisnya bisa setara dengan Ibnu Hajar, dan kemampuan fikih bisa setara Sirajuddin al-Bulqini.
Sementara Imam Sakhawi ini seorang ensiklopedik dan menguasai banyak fan ilmu, meskipun yang paling menonjol adalah ilmu hadis. Sakhawi adalah ulama yang sangat percaya diri; biografinya ia tulis sendiri sebanyak 30 halaman lebih dalam al-Dlau’ al-Lâmi’. Dalam kitab al-Dlau’ al-Lami’ pula, Sakhawi menuliskan biografi Suyuthi dibumbui dengan tuduhan tuduhan negatif.
Awal mula perseteruan sebenarnya masalah sepele. Imam Suyuthi mengaku bahwa ia sudah sampai pada derajat mujtahid mutlak menyamai Imam Syafii (lihat di Husn al-Muhâdlarah). Sementara menurut Sakhawi, pintu ijtihad sudah tertutup dan yang tersisa adalah pintu taklid. Tampaknya perbedaan ini berlanjut serius.
Imam Suyuthi, menurut Sakhawi, adalah orang yang tak berbakti pada ibunya. Menurut Sakhawi lagi, Suyuthi ini seorang plagiat akut karena kedapatan menjiplak karangannya. Tak hanya itu, Suyuthi mempunyai kitab kitab yang tidak dikonsumsi oleh orang banyak, kemudian ia ganti nama pengarang kitab tersebut dengan nama dirinya.
Barangkali, sebab tuduhan tuduhan tersebut, Suyuthi menulis kitab bertajuk al-Fâriq baina al Muallifi was Sâriq (ia jelaskan di sini batasan pengarang kitab yang hanya menukil, dan pencuri kitab yang bisa dikategorikan plagiator).
Imam Suyuthi juga mengarang kitab al-Kâwî fi Radd alâ Târîkh al-Sakhâwi. Bagi Suyuthi, kitab sejarah karangan Sakhawi banyak pemalsuan dan manipulasi. Sakhawi, menurut Suyuthi, ketelitiannya sangat kurang. Dalam kitab al-Dlau’ al Lâmi‘, Sakhawi diasumsikan sebagai pemakan daging ulama.
Dalam kaidah Jarh kita kenal ungkapan, kalâm al-aqrân yuthwâ wa la yurwâ: Opini negatif ulama terhadap ulama lain yang semasa anggap saja angin lalu, tak usah dijadikan dalil. Ungkapan ini dijadikan pijakan oleh Imam Syaukani menyikapi perseteruan dua ulama besar (Suyuthi dan Sakhawi).
Menimbang pelbagai faktor pelecut perseksusi di atas, baik motif ideologis maupun politis, selain pengawalan fisik dari yang terlatih (Polisi atau Banser), seorang alim sudah sepantasnya mempunyai doa-doa sebagai benteng dan perlindungan diri.