Perempuan Karir di Masa Iddah, Bagaimana Pandangan Fiqh?

perempuan karir

Mobilitas Perempuan Karir di Masa Iddah. Emansipasi perempuan di era modern semakin cepat. Berbagai sektor publik tidak gamang dimasuki perempuan. Dosen, guru, birokrat, kepala daerah, seperti Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Menteri, Presiden, pengusaha, dan anggota parlemen (DPRD 1, 2, dan DPR RI).

Beragam profesi ini mengharuskan perempuan untuk meningkatkan kompetensi dan mobilitasnya. Selain itu, dalam konteks muslimah, perempuan juga dituntut menjaga diri dengan menegakkan moral etik yang sesuai dengan standar agama (Syara’).

Dalam konteks ini, maka ketika perempuan yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan sejenisnya mengalami masa Iddah, maka diharuskan tetap menjalaninya sesuai aturan agama.

Para perempuan tersebut diharuskan menjalani masa Iddah sebagaimana ketentuan yang ada dan membatasi mobilitas ke luar rumah kecuali ada hajat (kebutuhan) atau darurat (kondisi terpaksa) yang mengharuskannya.

Hajat: kebutuhan yang mencapai standar jika tidak dipenuhi seseorang akan mengalami kesulitan dan kepayahan.

Darurat: kebutuhan yang mencapai standar jika tidak dipenuhi, seseorang akan mengalami kematian dan mendekatinya.

Ketika perempuan yang menjalani Iddah ke luar rumah untuk hajat atau darurat, maka tidak boleh memakai wangi-wangian, bersolek yang menarik syahwat, berpakean mewah, menarik perhatian, dan hal-hal lain yang mendatangkan fitnah (zina dan pendahuluan-pendahuluannya).

Perempuan yang Iddah jika keluar rumah, maka harus secukupnya dan bermalam di rumah. Ia harus menampakkan rasa duka kepada publik, khususnya kepada keluarga suami atau anak-anaknya. Jangan sampai dikatakan sebagai perempuan yang suka menarik perhatian atau suka menggoda laki-laki dengan dandan yang mencolok, parfum yang menyengat, dan aneka macam asesoris yang tidak pantas bagi perempuan yang sedang berduka atau tertimpa musibah.

Bagi yang menjadi ASN, ketentuan perundang-undangan harus diikuti, khususnya kaitannya dengan cuti masa Iddah. Peraturan tersebut dalam rangka memberikan hak cuti yang tidak mengorbankan tugas dan tanggungjawabnya dalam melayani masyarakat.

Negara tetap memberikan gaji kepada ASN yang mengambil hak cuti sebagaimana peraturan perundang-undangan. Hal ini berbeda jika seseorang mengambil cuti yang diluar tanggungjawab negara. Artinya, negara tidak berkewajiban menggaji pegawainya ketika mengambil cuti di luar ketentuan perundang-undangan.

Konsep di atas sangat menampakkan moderasi fiqh Islam yang mengakomodir kepentingan perempuan, keluarga besar, masyarakat, institusi, dan negara dalam satu platform yang seimbang dan berorientasi pada problem solving yang diterima semua pihak (win-win solution).

(Penulis: Jamal Ma’mur Asmani, IPMAFA Pati)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *