Perempuan Bekerja, Bolehkah?

perempuan bekerja

Oleh: Fatikha Yuliana*

Di era modern ini perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama dalam melakukan pekerjaan, baik di ranah publik maupun domestik. Namun tak sedikit juga orang yang masih alergi ketika mendengar perempuan bekerja.

Bacaan Lainnya

Sejak lama, suami atau laki-laki dianggap sebagai pemimpin keluarga dan tugasnya memberi nafkah. Anggapan ini menuntun kita untuk beranggapan bahwa kemandirian ekonomi perempuan itu tidak penting. Karena istri itu ‘dinafkahi’ bukan ‘menafkahi’, istri itu ‘dipimpin’ bukan ‘memimpin’.

Namun bagaimana jika dalam sebuah rumah tangga mengalami kendala dalam persoalan ekonomi? Bolehkah perempuan bekerja?

Mungkin akan terasa aneh bagi mereka yang kehidupan rumah tangganya tanpa kendala ekonomi, tetapi bagi beberapa keluarga yang lain itu menjadi hal yang lumrah dan biasa. Bahkan perempuan atau istri bekerja tidak hanya bertujuan untuk membantu ekonomi keluarganya saja, tetapi sekaligus untuk mengembangkan dan mengekspresikan dirinya di ruang publik.

Di tengah masyarakat yang masih kuat budaya patriarki, tentu tak jarang yang mempersoalkan perempuan bekerja. Melekatnya argumen bahwa laki-laki adalah pemimpin, membuat perempuan tidak diperbolehkan untuk bekerja.

Dalam kultur Jawa, misalnya, perempuan seringkali dilekatkan dengan istilah sumur, dapur, dan kasur. Artinya bahwa perempuan hanya ditempatkan untuk mengurus pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan mengurus anak. Perempuan juga ditempatkan hanya untuk menyenangkan hasrat seksual suami.

Jika kita meneladani istri Rasulullah SAW, Khadijah ra, adalah saudagar kaya. Beliau merupakan perempuan yang luar biasa, mengelola bisnis antar negara dan menggunakan hartanya untuk kebutuhan keluarga dan mendukung dakwah Rasulullah SAW.

Selain itu, dalam banyak riwayat diceritakan bahwa Siti Khadijah yang mengajari Nabi SAW dalam mengelola bisnisnya. Tindakan tersebut menjadikan Siti Khadijah sebagai perempuan yang istimewa di mata Nabi SAW.

Tak hanya Siti Khadijah, dalam beberapa hadis tercatat ada beberapa perempuan pemberi nafkah untuk keluarga. Dalam Sahih Muslim, mencatat Umm Syuraik ra sebagai perempuan pemberi nafkah keluarga. Tak hanya kepada keluarga, beliau dikenal oleh masyarakat sebagai perempuan dermawan. Rumahnya kerap kali dijadikan penginapan orang-orang yang tuna wisma.

Dari kisah-kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja. Dalam QS. An-Nahl: 97, berbunyi: “Barang siapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka telah kerjakan.”

Ayat tersebut menyebutkan agar laki-laki dan perempuan mengerjakan amal salih dan akan mendapatkan balasan dari amal yang telah dikerjakan. Bekerja merupakan amal salih untuk bekal beribadah kepada Allah SWT, baik itu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.

Sebagaimana yang dilakukan Khadijah, bekerja dan berbisnis, kemudian menggunakan hartanya untuk kepentingan dakwah Rasulullah SAW sehingga mendapat apresiasi dari Allah SWT.

Jadi, perempuan bekerja di luar rumah sama sekali tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Semua ini dilakukan sebagai wujud kerjasama laki-laki dan perempuan agar dapat saling tolong menolong dalam memikul tanggung jawab.

 

 

*Penulis adalah bagian dari komunitas muda Bayt Al-Hikmah Community Cirebon yang concern dengan isu kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja. Tertarik juga pada isu perempuan, gender, Islam dan kebergaman. Bisa disapa melalui surel [email protected], Facebook: Fatikha Yuli Ana, Instagram: @fatikha_yuliana, Twitter: @fatikhaayuliana.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *