Pentingnya Ilmu dan Adab, Mana yang Didahulukan?
Intermezo ketika saya ngaji, Pak Kiai selalu mengawali sebuah madrasahan (ngaji) dengan saliman, lalu menyuruh-isyarah kepada para santrinya untuk duduk rapi disusul dengan bacaan Fatihah untuk membuka majelis serta “hadiah” kepada sohibul kitab. Dalam madrasahan itu, kiai mengajarkan sebuah nilai agar kita menghiasi adab pada diri sebelum belajar.
Tak terbantahkan lagi, ini adalah adab.
Ada pepatah arab berbunyi : الأدب فوق العلم.
Dari pepatah tersebut, saya memaknai (bukan takwil ya, hehe) dalam situasi mencari ilmu, adab menjadi prasyarat agar ilmu yang dicari dapat didapat. Kecil kemungkinan guru mengajari murid yang sembrono kepadanya. Akan lebih tidak sederhana lagi ketika melihat dimensi ridho guru, dimensi khidmah >> berkah. Bahkan dalam sebuah maqolah buku nashaih al-ibad, Sayyidina Ali pernah ngendikan: أنا عبد من علمنى حرفا واحدا.
Sedemikian dahsyat penghargaan kepada ilmu, sehingga ada prasyarat dan konsekuensi sebagai “abdi” untuk meraihnya. Namun sadar gak sih, kalau poinnya yang sedang dilakoni adalah ilmu? Meski itu ilmunya ya ilmu adab?!
Sruput dulu kopinya.
Lanjut ya, lalu bagaimana ketika situasinya tidak sedang belajar?
Pada sebagian temen-temen Suroboyonan dan sekitarnya, sapaan (mohon maaf) “Cuuk” itu menunjukkan kedekatan, kehangatan, egaliter yang dengannya bisa menjadi indikator pertemanannya “baik.” Pertanyaannya, lalu dimana letak adab? Atau jangan-jangan adab tergantung pada sebuah keadaan-budaya-adat sehingga adab itu sendiri tidak memiliki nilai yang “mutlak”?
Dalam sebuah pepatah : خيرالأصحاب من يدلك علۍالخير sebaik teman adalah yang menunjukkan kepada kebagusan. Jika spirit ini menjadi sebuah frame pertemanan, maka yang terpenting adalah nilai (ajakan) kebaikannya, bagaimana wujudnya terserah, meski idealnya juga menggunakan wujud-cara yang baik pula. Sedang kebagusan itu sendiri apa si? Lagi-lagi ilmu kan ya?
Ada sebuah kisah….
Pada suatu Jumat, pak kiai menjadi khotib dan imam Jumat, seselesainya ibadah Jumat ada seorang yang mengadu kepada kiai yang lebih sepuh bahwa dalam versinya sang imam melakukan kesalahan dengan membaca dlomir ketika sholawat.
Singkat cerita, didudukkan sang imam tersebut, argumen tumpah ruah, dan pada akhirnya karena imamnya lebih muda dan atas ketawadluannya beliau akan menjadi imam dan khotib lagi pada pekan selanjutnya, untuk dapat mengajak jamaah pada Jumat sebelumnya untuk qodlo sholat dluhur.
Bagaimana posisi pengadu, kiai sepuh dan imam, mendahulukan ilmu atau adab?
Ada kisah yang lebih ekstrim, pada sebuah masjid di bilangan Gamping jika ada khotib mbulet, tidak runtut baca rukun, maka akan langsung “digasak” dan diturunkan paksa, lalu diganti oleh khotib lain.
Bagaimana posisi adab dan ilmu?
Dalam memaknai “lakon” memang harus selalu menggunakan hati yang bersih, karena jangan-jangan kita berpayung pada kata adab untuk menolak ilmu, atau jangan-jangan kita terlalu sombong atas ilmu lalu melupakan adab. Namun bagiku adab itu bagian dari ilmu.
Sruput lagi sisa kopi tadi. Hehe..
Penulis: Hilmi Fauzi, Aktivis Muda NU dan alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.