Penjelasan Tentang Dzikir Hu Antara Pro dan Kontranya
Penjelasan Tentang Dzikir Hu Antara Pro dan Kontranya. Di dalam lingkungan tarekat-tarekat sufi, sering terdengar lantunan zikir dengan lafaz Hu, misalnya Hu-Allah, Alla-Hu, dan lain-lainnya. Term Hu jika di dalam konteks bahasa Arab masuk ke ranah isim dhomir (baca: dhomir munfashil), sedangkan di dalam bahasa Inggris disebut pronoun, dan dalam bahasa Indonesia disebut pronomina persona—yang kesemuanya itu kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya: ‘Dia’ (laki-laki).
Para sufi sendiri jarang yang memandang tradisi zikir seperti itu sebagai sebuah persoalan, namun ada sebagian ‘ulama eksoterik’ (‘ulama al-Zhahir) yang mempersoalkannya. Maka, objek dari tulisan ini ada 2: ‘apa’ dan ‘kenapa’. Apa latar belakang persoalan tersebut yang apabila dikerucutkan menjadi sebuah topik: “diskursus Hu”dan kenapa dengan ‘Hu’?
Zikir dengan lafaz tersebut; dan lafaz-lafaz sejenisnya seperti ‘Ah’ dan ‘Lah’—menurut ‘ulama eksoterik’ hal itu merupakan ‘zikir yang cacat’ (dzikrun fasid) dan tentunya tidak diperbolehkan. Menurut penulis, ada 2 pra-anggapan mengenai latar belakangnya ulama’ eksoterik tersebut; yang sekiranya dapat dijadikan pemantik diskursus-diskursus selanjutnya secara terpisah, yaitu:
Pertama, menurut Mahmud Syaltut, Mantan Grand Syekh al-Azhar, misalnya, dalam salah satu fatwanya menegaskan bahwa zikir dengan lafaz ah itu sama hukumnya dengan zikir menggunakan lafaz-lafaz yang tidak absah. Karena lafaz itu tidak absah, maka hukumnya pun menjadi haram dan tidak sah. Sebab, berzikir itu harus menggunakan lafaz yang terekam dalam Alquran dan tercantum dalam Sunah. (Lihat Mahmud Syaltut, Al-fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi al-Yaumiyyah al-‘Ammah, Kairo: Dar el-Shorouk, hlm. 171).
Kedua, di dalam bahasa Arab, satu kalimat disebut memiliki makna sempurna jika dia bertemu kalam atau jumlah mufidah (kalimat sempurna). Sedangkan mufidah sendiri diklasifikasi menjadi 2: mufidah ismiyah, yaitu kalimat yang diawali isim; yang membentuk susunan mubtada’-khobar atau subjek-prediket.Dan,mufidah fi’liyah, adalah kalimat yang diawali fi’il atau kata kerja; yang membentuk susunan fi’il-fa’il. (lihat di Ibnu Aqil, Syarah Ibnu Aqil).
Sekiranya jelas 2 pra-anggapan latar belakangnya ulama’ eksoterik menentang “zikir sufi” tersebut. Entah pra-anggapan yang pertama atau yang kedua itu yang dijadikan landasannya, atau bahkan kemungkinan besar bukan keduanya. Penulis hanya sekadar memprediksi wacana yang terlintas.
***
Namun, kelompok sufi sendiri memiliki titik tolak pemahaman yang berbeda dari yang tadi. Syekh Yusri, sebagai seorang sufi, misalnya memandang bahwa zikir dengan lafaz ‘Hu’ itu tak termasuk kategori zikir yang cacat (dzikrun fasid) dan tertolak sama sekali.
Zikir dengan lafaz ‘Hu’ itu, kata Syekh Yusri, sejujurnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah sampai pada maqam spiritual tentu. Dan, yang penting dicatat, tidak semua sufi melakukan hal itu.
Dalam tradisi Madarasah Syadzuliyyah- Yusriyyah sendiri, tegasnya lebih lanjut, zikir semacam itu tak dianjurkan.
Beliau mengatakan, “Saya sendiri tak pernah melakukan dan menganjurkan berzikir dengan lafaz seperti itu. Tapi kalau ada yg melakukan hal demikian ya tidak bisa kita ingkari dan tidak jadi persoalan besar. Karena saya tahu, ada wal-wali besar yang berzikir dengan lafaz seperti itu. Dan kita tidak boleh bersikap kurang ajar kepada wali.” Demikian kurang lebih Syekh Yusri dalam suatu pengajian.
Sekali lagi, penting diingat dan dicatat. bahwa para sufi yang melantunkan zikir dengan lafaz ‘Hu’ dan lafaz-lafaz sejenisnya, adalah mereka-mereka yang sudah sampai pada maqam spiritual tertentu, dan tidak semua sufi melakukan hal itu.
Pertanyaannya kemudian: jika dari sudut fikih zikir dengan lafaz seperti ini bermasalah, maka bagaimana kita memahami persoalan ini dari kaca mata para sufi?
Pertama, zikir itu dari sudut kebahasaan artinya “mengingat”. Nah, ketika Anda mengingat sesuatu, misalnya, maka mau tidak mau Anda harus mengakui adanya yang mengingat (al-Dzâkir) dan ada yang diingat (al-Madzkûr).
Sampai pada titik ini, penulis kira, kita sepakat bahwa seseorang bisa dikatakan “mengingat” ketika ia sadar bahwa dirinya itu mengingat dan dia menyadari akan adanya yang diingat.
Penjelasan Tentang Dzikir Hu Antara Pro dan Kontranya. Persoalan yang muncul kemudian ialah: Bagaimana kalau yang mengingat itu sudah tenggelam bersama yang diingat sehingga yang mengingat seolah-seolah tak merasa sebagai yang mengingat dan pada akhirnya yang diingat hanyalah objek yang diingatnya?
Di sinilah titik keindahan ajaran para sufi. Mereka meyakini bahwa tak ada yang diingat dari yang diingat kecuali Yang Diingat dan Maha Ingat. Dan tak ada yang mengingat dari yang mengingat kecuali yang tak membutuhkan untuk diingat. Dalam bahasa Syekh Yusri, kondisi seperti ini dikenal dengan istilah “al-Ghaibûbah fi al-Madzkûr” (melebur bersama yang diingat) atau istilah lain disebut Manunggaling Kawulo Gusti.
Penulis kira, kondisi seperti ini bukan hanya akan kita temukan di lingkungan para sufi, tapi juga bisa temukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Orang yang gila cinta kepada manusia pun pasti ada yang mengalami kondisi semacam ini. Kadang orang-orang seperti ini juga suka melakukan hal-hal yang, menurut ukuran manusia normal, itu “gila” sekali. Bahkan, tak jarang di antara mereka ada yang sampai bunuh diri, manakala orang yang dicintainya itu pergi dan tak kembali.
Nah, kalau orang yang gila cinta kepada manusia yang notabenenya tak memiliki cinta saja ada yang bisa mengalami kondisi seperti tadi, apalagi seorang sufi yang memusatkan cintanya kepada Yang Maha Suci dan tak melihat adanya yang suci yang harus diingat kecuali Yang Maha Suci itu sendiri. Orang seperti ini pasti akan lebih gila lagi. Sepakat? Iya.
Kedua, seperti yang dituturkan oleh Syekh Yusri, yang saya kutip pada uraian tadi, bahwa orang-orang yang berzikir dengan “lafaz-lafaz aneh” itu sejujurnya tengah mengalami kondisi spiritual tertentu yang terkadang, bagi orang yang tak mengalami hal serupa, akan sulit untuk memahami.
Nah, dalam konteks ini, menarik untuk dikemukan satu kaidah penting yang akan menyelesaikan persoalan kita kali ini. Dalam tradisi Ilmu Tasawuf, ada sebuah kaidah utama anyg menyatakan bahwa: “al-Hâl yaghlibu ‘ala al-Ilm” (kondisi itu mendominasi/mengatasi ilmu).
Bertitik-tumpu pada kaidah ini, bisa kita katakan bahwa, kondisi spiritual yang sedang menimpa seseorang itu ditoleransi, meskipun dari sudut keilmuan, maksudnya keilmuan eksoterik, itu tak selamanya diamini. Penjelasan terkait kaidah ini, penulis kira, memerlukan tulisan secara terpisah di lain nanti. Jika Alam Semesta menghendakinya.
Penulis menduga mungkin akan ada yang berasumsi bahwa itu ini hanyalah “kaidah basi” buatannya para sufi. Dengan tegas penulis katakan: tidak sama sekali! Kaidah ini bersandar pada ajaran kitab suci dan sunah Nabi. Maaf, wawasan penulis pribadi masih sempit untuk menejelaskan detailnya di dalam tulisan ini. Tapi intinya itu tadi. Kalau ada orang yang sedang ditimpa kondisi spiritual tertentu, padahal ilmu (eksoterik) tak mengamini kondisinya itu, maka ketika itu, orang tersebut ditoleransi. Dan karena ia ditoleransi, maka ia tak berdosa sama sekali.
Ketiga, harus diakui bahwa tak ada kelompok Islam yang mampu mereguk kelezatan tauhid kecuali para sufi, demikian kata Syekh Yusri. Para sufi itu adalah pereguk kelezatan tauhid sejati. Penulis ingin membuktikan hal tersebut, setidaknya, melalui persoalan yg sedang kita diskusikan di sini. Kembali kita kepada persoalan tadi, mengapa sufi berzikir dengan lafaz ”Hu”?
Sederhananya begini. Sekarang kita ambil satu rangkaian kalimat zikir yang paling populer dan yang paling sering kita ucapkan setiap hari. Ambil contoh, misalnya, kalimat laa illaha illallah.
Perhatikan artinya baik-baik: “Tiada Tuhan selain Allah”. Coba perhatikan dan resapi kata “tiada” yang berada di awal kalimat ini. Kata “tiada” itu artinya bermakna negasi (al-Nafy). Dan yang manarik kalimat tersebut dikaitkan dengan lafaz Ilahi.
Nah, pada titik ini, kalau kita mampu menyelami keindahan ajaran para sufi, manakala kita menemukan di antara mereka ada yang meniadakan huruf negasi dalam rangkaian kalimat suci tadi, sejujurnya kita tak akan menemukan persoalan sama sekali.
Penjelasan Tentang Dzikir Hu Antara Pro dan Kontranya. Ketika seorang sufi yang sudah sampai pada maqam spiritual tertentu itu mengatakan “Tidak ada tuhan…”—meskipun pada selanjutnya disusul oleh kata “selain Allah”—mereka itu sejujurnya tidak kuat. Bagaimana mungkin mereka menautkan kata “tiada”, yang bermakna peniadaan itu, kepada nama Tuhan yang tak pernah mereka anggap tiada dan selalu ada? Mereka jelas tak akan tega, dan hati mereka akan sulit menerima!Akhirnya, huruf negasi yang menghiasai rangkaian kalimat tadi itu kemudian dihilangkan. Tinggallah tersisa lafaz illallah, yang artinya “selain Allah”.
Sekali lagi, perhatikan dan rasakan terjemahkan lafaz tersebut dengan baik menurut spirit tauhid ala sufi. Kata “selain” itu, meskipun dalam gramatika Bahasa Arab disebut dengan istilah huruf istitsnaiy, yakni huruf yang berfungsi sebagai pengecualian, bukan huruf negasi, tapi tetap saja masih mengandung “aroma” negasi.
Kalau dalam rangkaian lafaz pertama mereka membuang huruf negasi, maka mereka pun melakukan hal yang sama pada lafaz selanjutnya ini. Alasannya satu: mereka tidak kuat dan yang hanya ingin mengingat Yang Maha Suci! Bukan huruf-huruf negasi seperti tadi. Dan memang kondisi spiritual mereka yang meniscayakan hal ini.
Sekarang kita sudah hapus dua huruf negasi yang Penulis sebutkan tadi. Tinggalah tersisa kemudian lafaz ‘Allah’, Dzat Yang Maha Suci.
Nah, sampai pada titik ini, mungkin ada dari Anda yang bertanya: Kenapa mereka tidak berzikir dengan lafaz Allah saja? Bukankah sekarang sudah tidak ada huruf negasi lagi? Menjawab pertanyaan ini, di satu sisi, kita harus mengamini.
Betul bahwa berzikir dengan lafaz Allah itu lebih baik dan lebih bisa diterima dari sudut pandang kitab suci dan sunah Nabi. Tapi, kita akan tetap bertanya, kenapa para sufi tetap melakukan hal ini? Mari kita lanjutkan kembali.
Ingat, spirit utama yang menjiwai ajaran para sufi adalah tauhid yang murni. Tauhid itu bertingkat-tingkat, ada tauhidnya orang awam, ada tauhidnya orang khusus (al-Khawash), dan ada juga tauhidnya orang terkhusus dari yang khusus (khawash al-Khawash).
Nah, level tauhid tertinggi itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang terakhir ini. Yakni tauhid yang benar-benar menegasikan seluruhnya. Sekali lagi, menegasikan seluruh yang ada selain Yang Ada, bahkan eksistensi akan adanya dirinya sendiri pun dinegasikan. Dia tak melihat adanya yang ada dari yang ada kecuali Yang Ada. Keberadaan yang ada selain Yang Ada, meskipun ada, mereka yakini sebagai tiada, karena yang sebenar-benarnya ada dan keberadaannya bukan dari tiada itu hanyalah Yang Ada.
Nah, dari kacamata orang yang sudah sampai pada level tauhid seperti ini, huruf-huruf yang terangkai pada lafaz Allah itu pun dikategorikan sebagai yang ada selain Yang Ada. Sementara mereka tak ingin melihat adanya yang ada dari yang ada kecuali Yang Ada.
Karena huruf-huruf itu dipandang sebagai yang ada selain Yang Ada, maka demi mengingat keberadaan Yang Ada, huruf-huruf itupun mereka tiadakan dan dianggap tiada. Spirit tauhid seperti ini indahnya luar biasa.
Lihat, alif yang terangkai dalam lafaz Allah kemudian dihilangkan. Nah, jika alifnya dihilangkan, maka yang tersisa adalah lafaz ‘lahu’ (bagi Dia). Tapi lihat, rasakan, dan perhatikan dengan baik-baik, kata “bagi” itupun—karena ia merupakan huruf dan huruf itu bagian dari sesuatu yang selain Allah—turut dihilangkan sehingga yang tersisa hanyalah lafaz hu.
Nah, sampai pada titik ini, kita akan sadar bahwa inilah rahasia mengapa ada sebagian dari kelompok sufi yang berzikir dengan menggunakan lafaz ‘Hu’. Mereka meyakini sepenuhnya bahwa tak ada yang ada dari yang ada kecuali Dia. Selain Dia, semua yang ada yang terhampar di alam yang berada ini—eksistensi dirinya sekalipun—itu tiada, karena yang ada itu bisa ada dari tiada, diadakan oleh Yang Ada, dan kelak hanya akan kembali kepada Yang Ada yang selalu ada dan tak akan pernah tiada.
Inilah spirit tauhid yang tercermin terang dalam ajaran para sufi. Mungkin, di luar sana ada juga sufi yang tak kuat dengan lafaz hu, sehingga mereka tak berzikir dgn menggunakan lafaz hu, tetapi berzikir dengan mengerahkan seluruh jiwa, raga dan pikirannya sampai mereka tak mengingat adanya yang satu kecuali Yang Satu.
Demiakanlah apa yang sampaikan di tulisan ini. Apabila terdapat kesalahan sumber, nama, analogi, dan tata bahasa mohon dimaklumi. Tulisan ini berangkat dari sebuah pertanyaan dari seorang teman ngopi, “kenapa zikirnya Hu-Hu-Hu 33 kali. Kalau itu ditujukan pada Tuhan, berarti Tuhan berkelamin laki-laki dan kamulah yang menganggap Tuhan adalah laki-laki. Karena kata Hu dalam konteks bahasa Arab berada di pihak laki-laki. Dan, itu sangat bertentangan dengan Alquran bahwa Tuhan memiliki kelamin; tak dilahirkan dan melahirkan. Meskipun di Alqur’an sendiri banyak sekali ditemukan kata ganti Hu. Coba jelaskan perihal zikir Hu dengan gamblang!”kurang lebihnya seperti itulah pertanyaannya. Dan, sekali lagi mohon maaf, tulisan ini bukan bermaksud menggurui atau merasa lebi tahu dari si penanya. Tapi tujuan saya menulis ini untuk meminimalisir fenomena yg dikatakan oleh Almaghfurlloh Gus Dur, seneng ngafirke liyane, kafire dewe gak digatekke.
Sekian Penjelasan Tentang Dzikir Hu Antara Pro dan Kontranya terima kasih dan mohon maaf sebesar besarnya. Wallahul muwafiq illa aqwamithoriq, wassalamu‘alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Penulis: Achmad Fauzi Nasyiruddin, lahir di Nganjuk, sekarang jadi mahasiswa Studi Agama-agama Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.