Novel Hilda dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling.
Sejak kejadian pemerkosaan itu, Hilda menjalani hidupnya dengan perasan yang begitu menyedihkan dan membuat dia merasa tertekan dan tidak nyaman. Belum lagi ia hamil tanpa seorang suami dan malah dikelurkan dari sekolah. Hari-hari ia lewati dengan penuh kesedihan dan cemooh dari masyarakat, haruskah dia menyerah dengan kondisi itu?
Awal cerah kehidupan Hilda dimulai sejak ia pindah ke kampungnya, kemudian ia dimasukkan di pondok pesantren. Hari demi hari ia lewati dalam pesantren dengan penuh kebahagiaan. Ia diterima baik dalam pondok tersebut sehingga mengembalikan semangat hidup Hilda. Harapan-harapan baru muali muncul dalam benak hilda, hari-hari iia isi dengan mengasah kemampuandan mebaca berbagai kitab dan buku.
Tapi, bayangan-bayangan akan masa lalu ternyata masih terus membayangi Hilda, sedangkan masa depan harus diraih dan diperjuangkan. Bisakah kalian membayangkan menjadi seorang Hilda, perempuan korban kekerasan seksual? Ia dikucilkan, dicaci, padahal ia korban, sayangnya hukum tidak bisa ditegakan.
Bagaimana Hilda kuat melewati segala rintangan yang ia hadapi?
Novel Hilda ini menjadi refleksi bagi kita semua. Novel ini ditulis dengan bahasa sehari-hari sehingga membuat pembacanya mudah memahaminya, alur yang tak menentu membuat pembaca mencari inti dari cerita yang disampaikan penulis. Mengunakan referensi buku yang berbobot membuat pembaca tidak hanya membaca novel biasa, namun novel yang syarat akan makna. Kisah yang disampaikan mungkin saja terjadi pada kehidupan nyata. Terimakasih Hilda, kamu telah menginspirasi banyak orang termasuk saya.
Bagi saya, alur cerita dalam novel ini tidak teratur dan maju mundur terkadang membuat pembaca kebingungan. Pembahasan yang tidak secara langsung atau basa-basi terkadang membuat bosen namun hal itu tidak begitu masalah, hanya saja sedikit sulit memahami. Kekurangan mungkin tidak begitu terlihat, sebab memakai bahasa yang sering digunakan sehari-hari.
Saya menikmati cerita novel ini. Novel ini mengisahkan tentang hidup pantang menyerah. Hilda telah membuat kita terus bersyukur sebab belum tentu kita kuat dan sukses seperti Hilda yang telah mengalami hal yang buruk.
Hilda dan Masalah Patologi Sosial
Saat mendengar anaknya baru saja mengalami kekerasan seksual, Ibu Zubaidah kaget namun tetap menahan amarahnya dengan istighfar, agar Hilda menyampaikan yang dirasakanya sesuai kenyataan tanpa takut. Ibu Zubaidah tidak gegabah untuk memarahi anaknya ataupun menyalahkan, namun meminta tolong kepada seorang aktivis perempuan bernama Mbak Rindang. Ini dilakukan agar tidak mengumbar aib anaknya, agar anaknya tidak semakin tertekan.
Masyarakat sering menghujat korban kekerasan seksual dengan cemoohan, cacian, dan selalu menyalahkan pihak perempuan. Maka bernama Mbak Rindang melaporkan kepada pihak berwajib, walaupun akhirnya kandas juga karena Hilda tetap saja ketakutan.
Langkah nyata dilakukan dengan memasukkan Hilda ke pesantren. Saat di pesantren itu, Hilda mengasah kemampuanya serta bisa menyelesaikan kuliah s1. Pesantren menjadi tempat yang nyaman dan membuat hati sejuk dan mampu menyembuhkan luka. Di sini, pesantren menjadi solusi bagi korban di tengah patologi sosial.
Selain itu, novel ini juga mengajarkan kita dalam memahami suatu kasus terkait perempuan. Kita harus tahu secara detail suatu kasus, apa yang terjadi sebenarnya, apakah perempuan menjadi korban, atau laki-laki, dan apakah mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Jadi apa bila ingin menghakimi kita harus tahu posisi korban seperti apa, jangan asal mengira-ngira dan menghakimi semena-mena.
Kekerasan seksual yang dialami Hilda melahirkan trauma. Makanya, lingkungan yang nyaman seperti pesantren dan teman yang perhatian bisa menjadi solusi patologi sosial. Trauma yang dialami Hilda bisa sedikit demi sedikit pulih, walaupun tidak sepenuhnya.
Novel ini juga jadi pelajaran bahwa jika kita lemah maka carilah ilmu. Dengan ilmu kita bisa membantu orang lain dan paling tidak untuk diri sendiri. Saat menemukan masalah, kita harus tenang, berdoa, meminta tolong kepada orang yang tepat dan tidak membicarakan masalah kita kepada siapa pun, karena jika orang lain mengetahuinya maka dia akan dengan mudah merendahkan atau menjadi omongan orang, itu malah menambah beban psikologis korban.
Disamping itu, masyarakat jangan asal menyalahkan perempuan dalam suatu kasus, termasuk masalah hubungan suami istri. Kisah Hilda bersama suaminya, Wafa, menjadi pelajaran bagi para suami agar bisa memahami istrinya. Dengan saling memahami tentunya akan tercipta keharmonisan.
Pesan Penting dalam Masalah Konseling
Pesan yang pertama yang saya dapatkan dari novel Hilda adalah tetap tenang menghadapi masalah, sehingga dapat berfikir dengan tenang. Ini tentu bisa kita terapkan pada sesi konseling untuk membuka pikiran klien untuk berfikir terbuka, rasional, dan berfikir jangka panjang. Kasus Hilda ini memberikan contoh yang gamblang. Saat mengalami pemerkosaan itu, Hilda mengalami frustasi, strees dan depresi. Untung saja Mbak Rindang dan Ibu Zubaida menjadi sosok konselor yang sangat bagus.
Pesan kedua, jangan mudah patah semangat. Masa depan harus dijalani dan diperjuangkan. Karena kesuksesan akan datang apabila ada kemauan untuk berubah dan berusaha yang terbaik, pesan ini saya simpulkan dari sosok Hilda yang luar biasa. Pesan untuk husnudzon, fikiran terbuka, rasional dan positif sangat nyata terekam dalam novel ini. Hilda semangat membaca buku untuk meningkatkan ilmu, karena dengan ilmu dapat menemukan apa saja yang masih rahasia.
Selanjunya yang dapat kita petik atau jadikan contoh adalah sikap Wafa kepada Hilda yang begitu sabar dan perhatian. Ini dapat diterapkan pada konseling pernikahan atau pranikah, karena dapat memberikan edukasi kepada masing-masing pasangan untuk tetap sabar dan mengerti keadaan yang dialami pasangan. Seperti yang dilakukan Wafa kepada Hilda mengenai trauma atas sentuhan laki-laki, apalagi untuk berhubungan suami istri. Pasangan harus mampu membuat nyaman, tidak merasa terancam, dan memberikan rasa percaya diri. Hal tersebut akan membuat pasangan suami istri menjadi harmonis dan awet.
Demikian resensi Novel Hilda dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling. Iya, Novel Hilda sangat menarik, membuka cakrawala berfikir perempuan untuk mandiri dan menjadi konselor bagi dirinya sendiri.
Data Buku
Judul buku: Hilda; Cinta, Luka dan Perjuangan
Penulis: Muyassarotul Hafidzoh
Penerbit: Cipta Bersama, Yogyakarta.
Cetakan: 1, Januari 2020
Tebal: 508 halaman
Penulis Resensi: Puspita Ratna Juwita, mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN Surakarta.