Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allôhuma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Umiyyi Imâmil hudâ wa âlihi wa shohbihi wa sallim. Ammâ ba’du.
Pada hadits kali ini, sampai pada hadits ke-5 dalam Kitab al-Adab, hadits No. 5975 dalam keseluruhan kitab al-Jâmi`ush Shohîh susunan Imam al-Bukhori. Haditsnya cukup panjang, bercerita tentang kisah tiga orang umat dahulu yang dikabulkan doanya oleh Alloh, lantaran terjebak dalam goa. Hadits itu demikian:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَاشَوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ، فَمَالُوا إِلَى غَارٍ فِي الْجَبَلِ، فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ، فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا لِلَّهِ صَالِحَةً، فَادْعُوا اللَّهَ بِهَا لَعَلَّهُ يَفْرُجُهَا. فَقَالَ أَحَدُهُمُ اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ، وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ كُنْتُ أَرْعَى عَلَيْهِمْ، فَإِذَا رُحْتُ عَلَيْهِمْ فَحَلَبْتُ بَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ أَسْقِيهِمَا قَبْلَ وَلَدِي، وَإِنَّهُ نَاءَ بِيَ الشَّجَرُ فَمَا أَتَيْتُ حَتَّى أَمْسَيْتُ، فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا، فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ، فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا، أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا، وَأَكْرَهُ أَنْ أَبْدَأَ بِالصِّبْيَةِ قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ لَنَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ، فَفَرَجَ اللَّهُ لَهُمْ فُرْجَةً حَتَّى يَرَوْنَ مِنْهَا السَّمَاءَ.
وَقَالَ الثَّانِي اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِي ابْنَةُ عَمٍّ، أُحِبُّهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ، فَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا، فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ، فَسَعَيْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ، فَلَقِيتُهَا بِهَا، فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ يَا عَبْدَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ، وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ. فَقُمْتُ عَنْهَا، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي قَدْ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فَفَرَجَ لَهُمْ فُرْجَةً.
وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ أَعْطِنِي حَقِّي. فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَقَّهُ، فَتَرَكَهُ وَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي، وَأَعْطِنِي حَقِّي. فَقُلْتُ اذْهَبْ إِلَى ذَلِكَ الْبَقَرِ وَرَاعِيهَا. فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ وَلاَ تَهْزَأْ بِي. فَقُلْتُ إِنِّي لاَ أَهْزَأُ بِكَ، فَخُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ وَرَاعِيَهَا. فَأَخَذَهُ فَانْطَلَقَ بِهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ مَا بَقِيَ، فَفَرَجَ اللَّهُ عَنْهُمْ)).
Artinya: “Dari Ibnu Umar, dari Rasululloh shollallôhu `alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ketika ada tiga orang sedang melakukan perjalanan tiba-tiba turun hujan. Ketiganya kemudian bernaung dalam sebuah goa di sebuah gunung. Mereka berkata satu sama lain: “Perhatikanlah amalan-amalan saleh yang pernah engkau lakukan karena mengharapkan ridho Alloh, hendaklah kalian berdoa kepada Alloh dengan perantaraan amalan-amalan tersebut semoga Alloh membebaskan kita dari goa ini.”
“Salah seorang dari mereka berkata: “Ya Alloh dulu aku memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut usia, dan waktu itu aku memiliki anak-anak yang masih kecil, aku menghidupi mereka dengan menggembala. Apabila aku kembali menggembala di waktu sore, aku memerah susu, dan memberi minum kepada kedua orang tuaku terlebih dahulu, aku memberi minum keduanya sebelum anak-anaku. Pada suatu hari aku berjalan jauh mencari pepohonan (untuk makanan hewan gembala), sehingga aku datang pada malam hari. Aku mendapati keduanya telah tertidur. Aku memerah susu sebagaimana biasanya. Kemudian aku datang membawa susu yang baru aku perah itu dan berdiri di bagian (sisi) kepada keduanya. Aku tidak ingin membangunkan keduanya, tetapi aku tidak ingin memberikan susu itu kepada anakku sebelum memberikannya kepada kedua orang tuaku, padahal anakku bergelayutan di kakiku. Demikianlah keadaanku dan keadaan anak-anakku hingga terbit fajar. “Ya Alloh, engkau jika mengetahui perbuatanku itu hanya untuk mengharapkan ridho-Mu, maka bukakanlah celah untuk kami sehingga kami bisa melihat langit.” Maka Alloh membuka sedikit pintu goa, hingga mereka dapat melihat langit.”
Orang kedua berkata: “Ya Alloh dulu aku memiliki sepupu perempuan dan aku sangat mencintainya sebagaimana sangat cintanya seorang laki-laki kepada perempuan. Aku membujuknya agar dia menyerahkan dirinya, tetapi dia menolak hingga aku memberikan 100 dinar kepadanya. Lalu aku menemui dengan membawa uang tersebut. Ketika aku duduk di antara dua kakinya, dia berkata: “Wahai hamba Alloh, takutlah kepada Alloh, janganlah engkau membuka segel (keperawanan) kecuali dengan cara yang halal.” Seketika itu aku berdiri dan meninggalkannya. “Ya Alloh, jika Engkau mengetahui aku melakukannya karena mengharapkan ridho-Mu, maka bukakanlah batu ini untuk kami. Maka Alloh membuka satu celah.”
Orang ketiga berkata: “Ya Alloh, dulu aku pernah menyewa seorang pekerja dengan upah beberapa takar padi. Ketika pekerjaannya selesai, dia berkata kepadaku: “Wahai fulan berikan hak saya.” Aku memberikan haknya, tetapi dia meninggalkannya dan tidak suka upah tersebut. Lalu padi itu terus menerus aku tanam, hingga hasilnya bisa aku belikan sapi dan penggembalanya. Suatu hari dia datang kepadaku dan berkata: “Takutlah kepada Alloh, jangan zhalimi aku, dan berikan hakku.” Aku berkata kepadanya: “Ambillah sapi-sapi itu dan penggembalanya.” Kemudian dia mengambilnya dan pergi. “Ya Alloh jika Engkau mengetahui aku melakukannya karena mengharapkan ridho-Mu, bukakanlah apa yang tersisa, maka Alloh membukakan pintu goa itu untuk mereka.”
Hadits di atas juga dimuat di dalam ash-Shohîh al-Bukhôrî pada No. 2215 (dalam Kitab al-Buyû’, bab idzâ isytarâ syai’ân lighoirihi bighoiri idznihi farodhiya), No. 3465 (Kitab Ahâditsul Anbiyâ’, bab Hadîtsul Ghôrr), No. 2272, 2333, dan 5943 (Ibnu Mulaqqan, XIV: 528). Imam Muslim meriwayatkan hadits sejenis ini pada No. 2743, di Kitab ar-Riqaq bab Qishshotu Ashhâbi al-Ghôrr ats-Tsalâtsah.
Imam Zakariya al-Anshori menjelaskan hadits ini, tetapi dalam hadits yang ada pada No. 3465, dan mengomentari “Bâbu Hadîtsil Ghôrr” (Bab hadits yang membicarakan Goa), dan hanya ada satu hadits ini, demikian: “Hadits ini kal kahfi fil jabal” (Minhatul Bârî, VI: 552), hadits ini seperti kisah Ashahbul Kahfi di sebuah gunung, akan tetapi tidak dijelaskan bahwa ini cerita tentang Ashhabul Kahfi, yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, di dalam surat al-Kahfi. Hanya disebutkan, seperti, atau mirip.
Melalui hadits ini, Kanjeng Nabi Muhammad memberikan pengajaran kepada para sahabat dengan kisah-kisah, dan supaya bisa diambil faidah bagi mereka, untuk bekal mendekatkan diri kepada Alloh. Dari hadits ini, ada hal-hal penting yang bisa diambil: pertama, masalah Alloh mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang berdoa; masalah tawashul dengan amal perbuatan di dalam berdoa; adanya tiga amal perbuatan yang menjadi sebab doa dikabulkan; dan penjelasan soal kekeramatan para auliya’ dan pertolongan kepada orang-orang sholih, diafirmasi Kanjeng Nabi secara langsung, melalui hadits shohih.
Alloh Mengabulkan Doa Hamba-Hamba-Nya
Hadits di atas, mengajarkan kita supaya senantiasa ingat kepada Alloh dan berdoa kepada-Nya dalam keadaan sedih atau senang. Berdasarkan ayat-ayat yang lain, setiap muslim diperintahkan untuk beribadah kepada Alloh dan selalu berdzikir dengan aurad yang dibaca, dan diperintahkan pula untuk berdoa. Al-Qur’an memerintahkan di dalam surat Ghofir [40] ayat 60, demikian:
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
Jadi, doa itu adalah perintah dari Alloh, dan menurut hadits Kanjeng Nabi Muhammad, doa adalah ibadah, seperti diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir: “ad-Du`a’u huwal `ibâdah,” kemudian Kanjeng Nabi membaca ayat di atas (diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Thobroni, Hakim, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah, Said bin Manshur, Ibnu Marduyah, Imam Bukhori, dalam Durrul Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, XIII: 66); dan dalam hadits lain, disebut “ad-Du`a’u mukhkhul `ibadah”, doa itu ruhnya ibadah (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik).
Nu’man bin Basyir juga meriwayatkan, ketika Kanjeng Nabi menjelaskan ayat ini, Nabi mengatakan: “Apakah kalian semua tahu apakah ibadah itu?” Kami (para sahabat mengatakan: “Alloh dan Rasulnya lebih mengetahui.” Rasululloh kemudian berkata: “Ikhlas kepada Alloh dari selain-Nya.” Hadits ini berbicara tentang keikhlasan yang harus mendasari amal-amal dalam berbagai jenis ibadah, di samping ikhlas itu juga ibadah tersendiri.
Nabi Muhammad berkata ketika ditanya: “Apa ibadah yang utama? Nabi menjawab: “Du`a’ul mar’i linafsihi”, doa seseorang untuk dirinya (Imam Bukhori dalam al-Âdab, dari Sayyidah Aisyah); Nabi Muhammad juga bersabda, “Doa itu adalah al-Istighfâr” (HR. Ibnu Marduyah dari Sayyidah Asiyah); dan Nabi bersabda “ Barang siapa yang tidak berdoa kepada Alloh, Alloh marah kepadanya (dari Abu Hurairah riwayat Imam Ahmad dan Hakim).
Bahkan Wahhab bin Munannabih berkata, sebagaimana diriwayatkan Hakim Tirmidzi: “Saya menemukan di dalam kitab-kitab yang diturunkan Alloh bahwa Alloh berfirman: “unzilal balâ’, astakhriju bid du`â’ (Bala-bala’ diturunkan, Aku akan mengeluarkan karena doa). Alloh dalam hadits di ayat yang berbicara tentang doa itu, menjelaskan “akan menjawab do-doa”. Penjelasan-penjelasan di atas merujuk riwayat-riwayat dalam tafsir Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Durrul Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr (XIII: 66 dan seterusnya).
Karena doa itu ibadah, maka setiap orang berdoa harus memiliki adab-adab kepada Alloh. Imam al-Ghozali membahas dalam Ihyâ’, pada Kitab al-Adzkâr wad Da`awât, di bab Fî Âdabid Du`â’ menjelaskan 10 jenis, setelah menelaah hadits-hadits Kanjeng Nabi dan pendapat-pendapat para imam ahli ibadah. Saya merujuk dengan menggunakan kitab Ithâfu Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ’i `Ulûmiddin (Dar Fikr, Beirut, t.t., V: 27-dst), karangan Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini az-Zubaidi yang dikenal Murtadho az-Zubaidi, yaitu:
- Memilih waktu-waktu tertentu, seperti hari Jumat, hari Arofah, bulan Romadhon, waktu sahr di malam hari.
- Mengambil keutamaan dari keadaan yang mulia atau dimuliakan Alloh seperti saat hujan deras turun, waktu menunggu sholat jamaah, waktu berjihad, waktu antara adzan dan iqomat.
- Menghadap kiblat dan mengangkat tangan sampai hampir ketiaknya terlihat.
- Merendahkan suara, di antara jahr dan khafi.
- Bedoa dengan tadhoru’, jangan memaksakan dengan perkataan berbunga-bunga.
- Berdoa dengan penuh harap, dengan merendah kiri di hadapan-Nya.
- Yaqin bahwa Alloh akan mengabulkan doanya. Bahwa kapan terkabul-Nya memang hak Alloh.
Imam Sufyan bin Uyainah saja mengatakan bahwa Iblis saja doanya dikabulkan Alloh:
“Janganlah seseorang mencegah kalian untuk berdoa dengan apa yang diketahuinya tentang Alloh, karena Alloah akan menerima doa dari makhluk terburuk sekalipun, yaitu Iblis ketika berdoa: “Ya Alloh beri tangguhlah aku –untuk bisa menggoda manusia- hingga hari kiamat, dan Alloh berfirman: “Sesungguhnya engkau (Iblis) termasuk orang-orang yang diberi tangguh (yang bermakna doanya dikabulkan” (dalam Imam Murtadho az-Zubaidi, Itahâfus Sâdatil Muttaqîn, V: 39).
- Memohon dengan sungguh-sungguh, sampai tiga kali, dan tidak tergesa-gesa minta dikabulkan. Al-Ghozali meriwayatkan bahwa seorang ahli ibadah dan ahli hikmah saja ada yang 20 tahun berdoa dan baru Alloh mengabulkan doanya.
- Jangan langsung berdoa, perlu berdizkir lebih dulu atau diawali dengan menyebut kesucian Alloh, pujian, dan sholawat kepada Kanjeng Nabi, baru setelah itu berdoa. Dan kalau ada tanda-tanda diijabahi hendaklah mengucapkan pujian kepada Alloh, syukur.
- Adab-adab batiniahnya dilakukan, seperti bertaubat, tidak suka menyebarkan fitnah, dan mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, tidak dalam keadaan bersuci, makan dengan makanan yang haram, tidak menumpahkan darah, ikhlas, dan lain-lain
Adab yang dilakukan tiga orang dari umat dahulu, yang diceritakan hadits di atas, salah satunya adalah: pertama, “perhatikanlah amalan-amalan shaleh yang pernah engkau lakukan karena mengharapkan ridho Alloh”. Hal ini menegaskan, adab doa karena dilandasi dengan amal batin, yaitu ikhlas dan mengharap ridho Alloh. Kedua, keyakinan bahwa Alloh mengabulkan dalam perkataan “semoga Alloh membebaskan kita dari goa ini.”
Bagi seorang yang bersuluk, kadang-kadang menghadapi keadaan malu untuk berdoa kepada Alloh, karena nikmat Alloh yang telah diberikan kepadanya, disadari sudah terlalu besar, sangat besar, misalnya Alloh mengeluarkannya dari maksiat, diberi hidup sehat, dan lain-lain.
Seorang guru menceritakan kepada saya soal keadaan begitu:
“Manakala seseorang tidak berdoa, dia tidak memberi batasan dalam perjalanannya. Alloh justru bisa menguji terus menerus sampai menyadari keterbatasannya yang membahayakan, bahwa meskipun setiap hari berdzikir dan bersuluk, haruslah tetaplah menyadari untuk tidak berbangga dengan amal-amalnya yang ternyata tidak dibarengi dengan doa untuk meminta kepada Alloh, jangan sampai dzikirnya melupakannya untuk menyadari bahwa dia adalah kecil dan rendah di hadapan Alloh, meskipun kesadaran tentang nikmat yang diberikan Alloh sudah mulai tumbuh besar.”
“Ketidakmauan berdoa adalah kesombongan, dan itu adalah makanan setan untuk mengganggunya. Ketika dia sholat menghadap qiblah (Kakbah) fikirannya dibelokkan oleh Alloh terus menerus, ketika memulai suluk membayangkan gurunya, fikirannya dibelokkan Alloh membayangkan hal-hal lain (dilupakan Alloh), ketika dia semakin giat berdzikir, nafsunya semakin diperkuat oleh Alloh untuk mengganggunya; dan ketika dia beralih menggambarkan lafazh Alloh, yang tertulis adalah lafazh Syaithon, dan begitu seterusnya”
“Maka, seseorang harus tetap berdoa dan mengerti tentang nafsunya. Dalam berdoa juga harus mendoakan nafsunya, agar dirahmati Alloh, dijadikan Alloh menjadi tenang, menjadi diridhoi Alloh. Nafsu membutuhkan pengertian sang pesuluk. Nafsu dijadikan marah oleh Alloh, karena pesuluk tidak berdoa, dan atau berdoa, tetapi mendoakan orang-orang lain saja, dengan melupakan nafsunya sendiri, tidak dimintakan doa kepada Alloh. Maka kalau begitu, kamu kesulitan dilawan nafsu terus menerus dalam bentuk kalam dan dikirim setan terus menerus dalam berbagai rupa, berdoalah kepada Alloh, dibarengi dengan dzikir. Jangan sampai hanya berdzikir saja tanpa doa.”
Para imam sufi, juga senantiasa memiliki doa-doa khusus, baik yang diambil dari doa-doa yang diajarkan Kanjeng Nabi, atau kadang diterima dari ilham, ataupun kadang dirumuskan sendiri berdasarkan perjalanan pengalaman batinnya. Maka kita mengenal di sini, Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, Nabi Musa, Nabi Khidir, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad sendiri selalu berdoa. Imam Ibrahim bin Adhom, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, Imam Abdulloh bin Alwi al-Haddad, dan lain-lain imam di kalangan umat Islam yang sholih-sholih selalu berdoa kepada Alloh.
Arjû al-musyaffa’, ya Rabbi sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân
(NKR)