Oleh Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allôhuma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Umiyyi Imâmil hudâ wa âlihi wa shohbihi wa sallim. Ammâ ba’du.
Dalam Ngaji Hadits Kitab al-Adab ke-7, kita sampai pada hadits ke-3 atau hadits No. 5972 dalam keseluruhan Kitab al-Jâmi`us ash-Shohîh karya Imam al-Bukhori. Hadits itu bunyinya demikian:
عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُجَاهِدُ. قَالَ: ((لَكَ أَبَوَانِ)). قَالَ نَعَمْ. قَالَ: ((فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ)).
Artinya: “Dari Habib dari Abul Abbas, dari Abdulloh bin Amr, dia berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “Apakah aku boleh berjihad?” Kanjeng Nabi Muhammad menjawab: “Apakah kamu mempunyai kedua orang tua?” Dia menjawab: “Ya.” Maka Kanjeng Nabi menjawab: “Di dalam keduanya itulah engkau hendaknya berjihad.”
Hadits ini dalam kitab al-Âdab al-Mufrad dikemukakan dari jalur lain pada No. 20. Dalam riwayat Imam al-Bukhori di kitab al-Âdab al-Mufrad itu, juga ada ada yang disebutkan: “Kembalilah kepada orang tuamu, dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu telah membuatnya menangis” (Imam al-Bukhori, Aal-Âdab al-Mufrad, No. 21). Pada Ngaji Hadits ke-5 hal ini telah disebutkan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Ibnu Majah. Riwayat-riwayat lain itu silahkan dirujuk kembali di Ngaji ke-5, dan pembahasan tentang jihad dalam artian qital, atau perang, sudah cukup dijelaskan di situ.
Sementara hadits ini, menegaskan soal syarat yang harus dipenuhi dalam keikutsertaan berjihad, manakala jihad telah diumumkan oleh pemimpin yang syah di kalangan kaum muslimin untuk mengusir musuh yang menduduki daerah kaum muslimin, atau memusuhi agama Islam dengan masuk ke wilayah kaum muslimin dan mengusir kaum muslimin dari tanah airnya. Maka syarat bolehnya ikut serta berjihad sebagai wajib kifayah ataupun wajib ain dalam radius tertentu, oleh Kanjeng Nabi Muhammad ditegaskan, harus mendapat idzin orang tua dulu. Kalau orang tua ternyata tidak mengidzinkan, maka jihadnya tidak syah.
Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan: “Jika kamu masih memiliki kedua orang tua, maka berjihadlah dengan cara berbakti kepada ayah dan ibumu, dan berbuat baik kepada keduanya (wal ihsan ilaihimâ), karena berbakti krepada kedua orang tua itu sama dengan berjihad melawan musuh” (Fathul Bârî, X: 403). Hal ini mengisyaratkan bahwa birrul wâlidain lebih utama dari al-Jihâd fî sabilillâh, yang dalam kitab-kitab fiqh, dibahas, karena birrul wâlidain itu hukumnya wajib ain bagi setiap orang, dalam kondisi apa pun, suka dan duka; sementara jihad dalam artian perang itu fardhu kifayah (dan wajib ain dalam radius ajarak tertentu), dan harus memenuhi syarat tertentu; dan syarat tertentu itu, di antaranya harus ada idzin orang tua.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat, manakala orang tuanya bukan seorang muslim, pendapat-pendapat itu menurut Ibnu Mulaqqan dalam syarahnya (XXVIII: 243) dan Ibnu Bathol dalam syarahnya (IX: 191-192), di antaranya: Imam ats-Tsauri berpendapat dia tidak boleh berangkat perang, dengan tanpa idzin orang tuanya; Imam Syafi`i berpendapat, hendaklah dia ikut berperang meski tanpa idzin keduanya; Imam Thowus berpendapat memelihara saudara-sadauar perempuan, lebih utama daripada ikut al-jihâd fî sabîlillâh; dan Ibnul Mundzir menjelaskan, bahwa kakek-kakek adalah para ayah, dan nek-nenek adalah para ibu, tidak boleh berperang atas idzin dari mereka, dan saya tidak mengetahui sebuah petunjuk yang mewajibkan (ikut berperang) selain karena mereka, dari kalangan saudara-saudara dan semua kerabat dekat.
Penyebutan berbakti kepada orang tua itu, sebagai jihad, menunjukkan bahwa amal itu akan dapat mengantarkan anak sebagai jalan yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh dan memperoleh ridhonya. Bahkan Ibnu Mulaqqan dan Ibnu Bathol dalam syarahnya mengetengahkan hadits Ibnu Mas`ud yang menyebutkan “anna birrol wâlidain afdholu minal jihâd (Ibnu Mulaqqan, XXVIII: 242; dan Ibnu Bathol, IX: 192 ), jihad yang paling utama; sementara hadits lain menyebutkan jihad yang paling utama adalah jihâdurrajul hawâhu, berjihad melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu, Kanjeng Nabi Muhammad mewanti-wanti, sungguh sangat buruk, apabila ada orang yang hidup dengan orang tuanya, tetapi dia dimasukkan ke dalam neraka oleh Alloh, seperti disebutkan dalam hadits di dalam kitab al-Âdab al-Mufrad: “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka.” Para sahabat bertanya: “Siapa wahai Rasulullah?” Kanjeng Nabi menjawab: “Orang yang hidup bersama kedua orang tuanya, atau salah satu di antara keduanya, tetapi masih masuk ke neraka” (Imam al-Bukhori, al-Âdab al-Mufrad, hadits No. 21). Sebaliknya orang yang berbakti kepada orang tua itu, disebutkan akan memperoleh panjang umur. Orang yang celaka, adalah mereka yang mendurhakai dan menyia-nyiakan orang tua, dan akan dibahas nanti pada hadits tersendiri tentang `Uqûqul Wâlidain.
Akan tetapi, menurut pendapat lain seperti pendapat Ibnul Mundzir yang dikutip Ibnu Mulaqqan, keharusan idzin kepada orang tua itu, bila dalam keadaan: “ma lam yaqo’ an-nafir, faidza waqo`a wajaba al-khurûju `alâl jamî’ (orang itu tidak berada di medan tempur, dan apabaila di medan tempuir, maka wajib keluar semua), berdasarkan hadits Abu Qotadah dari Kanjeng Nabi Muhammad.
Selain syarat idzin orang tua itu, ada syarat lain orang tidak boleh berjihad yang disebutkan kitab-kitab fiqh, dan disebutkan oleh hadits-hadits Kanjeng Nabi Muhammad, adalah orang yang berhutang, atau memiliki hutang. Orang yang memiliki hutang harus berusaha melunasi utangnya, dan dalam usaha melunasi hutangnya itu, dengan cara yang halal, dia sudah melaksanakan yang baik dan dihitung sebagai amal yang lebih baik daripada ikut jihad, sebagaimana berbakti kepada orang tua, bagi anak yang tidak memperoleh idzin orang tua untuk berperang. Barulah orang yang berhutang boleh berjihad manakala diidizinkan oleh orang yang mememberikan hutang.
Sementara ada ayat Al-Qur’an yang juga menyebutkan tidak semuanya boleh pergi berperang kalau sudah diumumkan perang oleh imam kaum muslimin yang syah, karena harus ada yang berperan sebagai pengajar dan pendidik:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah [9]: 122).
Ayat ini mengisyaratkan secara jelas, bahwa kalau ada pandangan yang mewajibkan berperang untuk semua orang Islam adalah pandangan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, karena harus ada yang menekuni di bidang muthola’ah, pengajaran-pendidikan, dan yang lain-lain di bidang-bidang kehidupan yang lain. Hadits di atas memperkuat ini, yaitu berperang di medan tempur dengan senjata, bukan kewajiban untuk semua orang muslim laki-laki, tetapi fardhu kifayah. Ketika orang tua masih ada dan tidak mengidzinkan, maka berbakti kepada orang tua adalah juga jihad.
Arjû al-musyaffa’, ya Rabbi sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân. (NKR).