Oleh: Kiai Kuswaidi Syafi’i, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Sewon Bantul.
و راعها و هي في الأعمال سائمة
و إن هي استحلت المرعى فلا تسم
Gembalakanlah ternak nafsumu di padang-padang amal kebaikan. Jika ia lepas seenaknya di sana, maka janganlah kau biarkan ia begitu saja.
Pada bait di atas, nafsu ammarah disimbolkan sebagai ternak. Walaupun dikategorikan sebagai binatang yang jinak, tidak buas, tapi karena hanya memiliki keinginan dan tidak mempunyai akal, tetap saja ia harus senantiasa diawasi dan dijaga, jangan sampai menerobos pembatas dan melahap tanaman orang lain.
Ketika senantiasa “ditraining” dengan mengkonsumsi kebaikan demi kebaikan, nafsu itu akan tumbuh dengan energi-energi yang positif sehingga akan menjadi lebih mudah untuk diarahkan ke padang-padang rumput kemuliaan.
Tapi, dengan demikian, tidak lantas menghapus kecurigaan sepenuhnya pada kehendak buruk nafsu. Sebab, ketika nafsu itu mendapatkan peluang dan santapan sebagaimana sebelum terlatih dengan berbagai macam kebaikan, ia bisa saja kambuh kembali.
“Ularmu itu tidak mati, tapi cuma pingsan,” ungkap Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) dalam salah satu puisinya. “Jangan kau sodorkan hidangan padanya. Nanti malah ia bangkit dan menerkammu.” Dan idiom ular itu tak lain menunjuk kepada nafsu ammarah dalam setiap diri manusia.
Dan kehati-hatian menghadapi nafsu sendiri akan melahirkan nilai-nilai kebaikan dan hikmah. Tuhan menciptakan nafsu bukan terutama agar kita lumat dan musnah di hadapannya, tapi supaya kita sanggup mengelolanya dengan sebaik dan seindah mungkin sehingga kita mendapatkan luberan berkah karenanya.