Oleh: Kiai Kuswaidi Syafi’i, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Bantul
اني اتهمت نصيح الشيب في عذل
والشيب ابعد في نصح عن التهم
Sesungguhnya aku menyangka bahwa nasehat yang berupa uban itu hanyalah merupakan cacian. Padahal dalam memberikan nasehat uban itu sangat jauh dari berbagai prasangka.
Seorang pecinta yang akut ditakdirkan untuk tuli terhadap omongan siapa pun selain yang meluncur dari lisan kekasihnya. Bahkan walau omongan itu berupa nasehat yang paling berharga sekalipun untuk dirinya.
Demikian pula dia akan senantiasa buta terhadap pementasan keindahan apa pun di dunia ini selain yang menghablur dari arah kekasihnya. Bahkan walau secara obyektif sangat banyak yang jauh lebih indah dan lebih menarik dibandingkan dengan kekasihnya itu.
Dari saking tak pedulinya terhadap apa atau siapa pun selain kekasihnya, si pecinta itu bahkan tak mempedulikan segugus nasehat konkret yang “diungkapkan” langsung oleh Tuhan semesta alam. Yaitu, adanya uban yang bermunculan di kepalanya.
Itulah nasehat yang memastikan bahwa kematian yang secara ideal merupakan gerbang perjumpaan yang menyenangkan dengan Tuhan akan segera tiba. Itulah pula yang merupakan kepastian yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun.
Suatu waktu Nabi Ya’qub memohon kepada Allah Ta’ala agar mengutus tanda-tanda ajal pada dirinya kalau kematian itu sudah hampir tiba. Allah Ta’ala mengijabahi doanya.
Hari berganti minggu, berganti bulan, berganti tahun, berganti windu. Sementara uban-uban bermunculan di kepala putra Ishaq itu. Tiba-tiba datang si pencabut nyawa, Malaikat ‘Azrail.
Nabi Ya’qub: “Ada apa datang kemari?”
Malaikat ‘Azrail: “Untuk melaksanakan perintah mencabut nyawamu.”
Nabi Ya’qub: “Bukankah aku sudah berdoa kepada Allah dan doaku terkabul bahwa menjelang kau melaksanakan tugasmu untukku, Allah akan mengirim tanda-tanda kepadaku?”
Malaikat ‘Azrail: “Bukankah ubanmu itu sudah hampir memenuhi kepalamu? Itulah tanda-tanda kematian yang telah dikirim oleh Allah untukmu.”