“Ketahuilah, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhori)
Hadits tersebut dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk menanggapi aduan dari Usamah bin Zaid yang diminta oleh suku Al-Makhzumi agar Nabi menolong putri pemimpin suku mereka yang kedapatan mencuri. Hadits tersebut merupakan pernyataan tegas dari Nabi, bahwa penegakan hukum dalam Islam tidak tebang pilih. Tidak peduli sebagus apapun nasabnya, kalau memang seseorang terbukti bersalah, maka hukuman harus tetap ditegakkan.
Sementara itu, hingga kini masih banyak orang yang masih berlindung di balik nasab dan kebesaran nenek moyangnya terdahulu. Mereka membanggakan kebesaran dan kehebatan pendahulu mereka, dan tak jarang memanfaatkannya untuk menutupi kelemahan mereka. Terkadang, mereka juga bertindak sesuka mereka dan merendahkan orang lain. Bagaimana Islam memandang persoalan nasab ini?
Prinsip Al-Qur’an dan Hadits
Pada dasarnya, Islam memerintahkan kepada semua manusia untuk beriman dan beramal soleh. Karena nantinya, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan mereka di akhirat kelak, secara individual. Mereka akan mempertanggungjawabkan sendiri amal mereka masing-masing. Memiliki orang tua yang saleh, tidak lantas seseorang tidak lagi dihitung amalnya.
Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 134:
﴿ تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْ ۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٣٤ ﴾
Terjemah:
- Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. (Terjemah Kemenag 2019)
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menceritakan kisah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Yakub as. mewasiatkan dan mewariskan keimanan terhadap Allah swt. pada anak cucu mereka. Nabi Ibrahim as. dan Nabi Yakub as. sendiri merupakan moyang dari Bani Israil, termasuk ahlu kitab di Madinah waktu itu, yang sangat dihormati dan dibanggakan mereka.
Syekh Tanthowi dalam Tafsir Wasith-nya menerangkan, bahwa dalam ayat ini Allah swt. memperingatkan ahlu kitab yang tidak mau taat pada perintah agama, karena terlalu berserah pada nasab mereka yang bersambung pada kakek-moyang mereka, dimana banyak yang menjadi nabi dan orang-orang saleh.
Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan kakek-moyang mereka yang berbuat baik itu amalnya telah dicatat untuk mereka sendiri. Keturunan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban perbuatan mereka. Mereka juga tidak dimintai pertanggungjawaban tindakan keturunan mereka. Keturunan mereka akan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sendiri.
Ayat ini datang untuk menetapkan salah satu sunah (ketetapan) Allah yang umum bagi makhluk-Nya, bahwa masing-masing makhluk-Nya itu secara individu, mendapat pahala dari kebaikan yang mereka kerjakan, dan sebaliknya, mendapak siksa dari keburukan yang mereka kerjakan.
Semakna dengan ayat tersebut, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Wahai Shofiyah bibinya Muhammad, wahai Fathimah puterinya Muhammad, datanglah pada hari kiamat dengan amal perbuatan kalian, bukan dengan nasab kalian. Karena sesungguhnya aku tidak mencukupi apapun dari (perbuatan) kalian (atas pertanggungjawaban) kepada Allah swt.”
Nabi Muhammad saw. juga bersabda: “Seseorang yang (hitungan) amalnya lambat, tidak lantas dipercepat oleh nasab mereka”.
Dua hadits yang dikutip Syekh Nawawi dalam Muroh Labid itu, kembali menegaskan bahwa masing-masing orang akan bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri. Nasab mereka, sebagus dan semulia apapun itu, tidak lantas menghilangkan tanggung jawab itu di hadapan Allah swt. kelak.
Bangga Boleh, Sombong Jangan
Dikutip dari NU Online, KH Said Aqil Siradj menyampaikan terkait nasab yang baik, bahwa sekedar membanggakan boleh, namun yang dilarang adalah sampai menyombongkannya. Pernyataan tersebut berdasarkan hadits dan maqolah ulama’ salaf. Ada dua hal yang dicontohkan Kiai Said.
Pertama, Rasulullah saw. sendiri pernah bersyukur membanggakan sebagai cucunya Abdul Muthalib, tokoh ternama Suku Qurays. Rasulullah saw. sebagaimana digambarkan dalam Maulid Barzanji, memang memiliki nasab yang tinggi, bersih, dan suci dari perzinaan jahiliyah. Abdul Muthalib dalam kitab itu digambarkan dengan, “Nama beliau adalah Syaibatul Hamdi, dan perilaku-perilakunya yang luhur itu terpuji.”
Kedua, kisah dari Imam Hasan al-Bashri. Beliau memiliki ayah seorang majusi yang bernama Yasar. Pada suatu waktu, ada orang yang menghina beliau dengan berkata, “Walau Anda sudah jadi ulama besar dengan julukan sayidut tabi’in (pemimpinya para tabiin), Anda hanyalah anak budak”. Beliau lalu menjawab, “Jangan menghina ayah saya. Jelek-jelek, ayah saya punya anak seperti saya, dan belum tentu saya punya anak seperti saya.”
Begitulah dalam berbagai literatur tersebut, bisa dilihat bagaimana Islam memandang persoalan nasab ini. Bahwa membanggakan nasab yang baik itu memang sah saja. Nasab yang baik bisa diartikan sebagai takdir dan nikmat dari Allah swt. yang mesti disyukuri.
Namun, memiliki nasab yang baik tidak boleh menjadikan seseorang untuk sombong, berpangku tangan untuk tidak beramal dan bahkan merendahkan orang lain. Karena dalam Islam, seseorang akan dimintai pertanggungjawaban secara individu. Kebaikan nenek-moyang tidak bisa mempercepat hitungan amal keturunannya yang seret. Setiap orang wajib memperbaiki dirinya sendiri masing-masing.
Wallhu a’lam bish showab
Nuzula Nailul Faiz
Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta