Nahdlatul Ulama: Pandangan dari Seorang Kristen

gus yaqut ansor

Tahun lalu, seorang sahabat mengirim pesan ke beta saat beta masih berada di Iraq begini: Bro, kalo ente di Jakarta, kita ketemu dengan Mahmud Syaltout  ya, dia orang NU. “Siap bro”, balas beta. Dan itu adalah interaksi pertama beta dengan sahabat-sahabat GP Ansor di Jakarta.

Beberapa bulan kemudian beta mengirimkan pesan messenger ke seorang sahabat: Gus Yaqut, Salam hangat dan salam kenal. Dan, ternyata pesan itu dibalas: Salam Mas Alto.. saya pengagum anda. Surprised sekali dapat inbox begini. Terima kasih.. 🙏🙏. Dalam hati beta, Wah, ketua GP Ansor ini bercandanya luar biasa.

Akan tetapi setelah bertemu dengan Gus Yaqut, Mohammad Nuruzzaman dan Mujibur Rphman di kantor pusat GP Ansor, dan berinteraksi dan berdiskusi tentang issue-issue radikalisme, terorisme dan implikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata kita bukan hanya sama-sama golongan hisap, tapi juga satu frekwensi dan satu komitmen.

Interaksi ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di beberapa kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Solo beta berkesempatan berdiskusi bersama Gus Sholah. Di Cirebon bertemu dan berdiskusi dengan Gus Rifqiel Asyiq. Bahkan merupakan kehormatan bagi beta untuk diundang oleh Komandan Densus 99 Mohammad Nuruzzaman menjadi satu narasumber dalam acara DikLatSar Banser se Solo Raya yang dilakukan di salah satu Ponpes di Boyolali yang dihadiri oleh Gus Muhammad Aun dan Nuril Huda.

Dari berbagai interaksi yang baru terjadi ini, ada beberapa hal menarik yang bisa beta pelajari tentang NU.

Yang pertama adalah bagaimana NU bisa mengawinkan antara konsep santri dan ulama yang membumi dengan kebutuhan akan pengetahuan modern yang berkembang pesat dan eksponensial. Konsep-konsep pengetahuan Islam yang merupakan core dari santri dan Ulama NU itu sangat ditopang dengan kemampuan dan pengetahuan kekinian yang luar biasa. Sahabat-sahabat Santri dan ulama NU bisa berbicara tentang konsep Islam Nusantara sampai pada analisa jejaring dengan memakai Big Data. Atau bagaimana NU melihat dinamika geopolitik Indonesia dan Tiongkok, seperti yang dijelaskan oleh Mas Imron Hamid. Yang membedakan adalah Santri dan Ulama NU itu bisa mempresentasikan ilmu modern dalam bahasa yang sederhana yang dimengerti oleh orang dalam berbagai ilmu dan strata.

Yang kedua adalah komitmen NU untuk menjaga kedaulatan dan integritas bangsa ini. Secara kasat mata, orang mungkin melihat simbolnya saat Banser NU menjaga gereja-gereja. Tapi ternyata komitmen tersebut jauh lebih dalam dari sekedar menjaga gereja. NU yang didirikan tahun 1926 punya semua resep untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, kalau mereka mau. Konsolidasi mereka yang sudah solid dan terstruktur sebelum Indonesia menjadi sebuah bangsa sebenarnya cukup menggiurkan bagi para pendirinya untuk mendominasi proses pembentukkan NKRI. Tapi hal tersebut tidak dipilih mereka. NU memilih untuk mendukung Indonesia yang berBhineka tetapi Tunggal Ika.

Sekarang beta lebih mengerti bahwa NU memilih memperjuangkan kebhinekaan, dan bukan turut menyuburkan ideologi tunggal ala Wahabi, karena akar moral mereka yang sangat kuat. Akar moral inilah yang membuat NU itu tidak tergoda untuk menjadikan diri mereka sebagai polisi moral yang diktatorial bagi bangsa ini.

Judul di atas adalah pandangan seorang Kristen, tapi kristen sama sekali tidak disebut dalam tulisan ini. Alasannya simple: Kami tidak merasa perbedaan keyakinan itu sebagai sesuatu yang spesial dan harus dipermasalahkan dalam konteks mayoritas dan minoritas. Beta tidak pernah sekalipun menangkap bahwa sahabat-sahabat NU itu merasa mereka adalah mayoritas yang harus melindungi minoritas. Sebaliknya, satu frekwensi yang beta sebutkan di atas menunjukkan bahwa beta dan mereka adalah sama-sama anak kandung dari NKRI yang memiliki kompas moral yang sama, yaitu menjaga kedaulatan NKRI.

Selamat hari minggu buat sahabat-sahabat NU.

Penulis: Alto Luger.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *