Mu’min dan Taqwa

Mu'min dan Taqwa

Wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bagi orang beriman, merupakan pelita di tengah kegelapan; hujan di tengah kemarau bagi manusia; obat bagi yang sakit; penjelas bagi yang ragu terhadap sesuatu; penyempurna bagi yang telah ada sebelumnya; jalan rahmat bagi para pejalan; dan peringatan bagi bagi yang mau mendengar. Oleh karena itu, dalam syair para sufi, sering dikemukakan Al-Qur’an itu menjadi tombone ati: “Moco Qur’an angen-angen sakmaknane”; dengan dibaca diresapi, dan dikaji.

Lebih dari itu, Al-Qur’an itu menjadi petunjuk bagi yang bertaqwa (QS. Al-Baqoroh [2]: 2). Ini bermakna bahwa al-Qur’an bisa berfungsi untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa; sedangkan tidak demikian bagi orang yang tidak bertaqwa. Orang-orang yang bertaqwa itu disebut sebagai orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqoroh [2]: 3).

Bacaan Lainnya

Orang beriman adalah salah satu jenis manusia yang dihubungkan dengan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, selain orang yang berislam. Orang yang beriman itu, ditandai dengan iman kepada Allah, kepada yang ghaib, menjalankan shalat yang diajarkan Sang Nabi, mengeluarkan infaq atas rezeqi yang diberi Alloh (QS. Al-Baqoroh [2]: 3), iman kepada Al-Qur’an, dan apa yang dibawa Nabi-Nabi sebelumnya (QS. Al-Baqoroh [2]: 4); kepada hari akhirat yaqin adanya (QS. Al-Baqoroh [2]: 4), juga iman pada ketentuan Allah yang baik dan buruk, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits Nabi.

Orang yang beriman itu membenarkan dalam hatinya sebagai pokok utamanya, mengucapkannya dan menjalankannya sebagai penyempurnaan imannya dengan keikhlasan. Kekurangan dalam amal menjadikannya ia cacat, tetapi tetap dianggap tetap beriman, dan selalu beristighfar manakala berbuat dosa. Mereka yang beriman disebut Al-Qur’an sebagai orang yang dimasukkan ke dalam jannah-Nya bersama dengan orang yang berbuat baik, dan Allah menjalankan apa yang Dia kehendaki (QS. Al-Hajj [22]: 14).

Di antara orang yang beriman itu disebut oleh Al-Qur’an ada yang mencapai derajat muhsinun, yaitu mereka yang ketika beribadah dapat merasakan kelezatannya melalui kesadaran pengawasan Alloh; dan ketika berrelasi sosial dibarengi dengan adab-adab atau akhlak yang baik, dengan tutur kata yang baik, dan menyanggah secara baik; dan mereka memperoleh kehadiran ilahi dengan kesiapan hati untuk merasakan “innalloha waliyyul mu’minin”; innalloha ma`ana; innalloha ma`ash shobirin; wahuwa ma`akum ainama kuntum, dan ayat-ayat sejenis.

Selain itu, Al-Qur’an menyebutkan ada orang yang manis di bibir saja, mengaku iman. Dia ini mengatakan beriman kepada Alloh dan hari akhir, tetapi sebenarnya mereka tidak beriman (QS. Al-Baqoroh [2]: 8). Orang seperti itu menipu Alloh, dan diri sendiri, tetapi tidak merasa (QS. Al-Baqoroh [2]: 9). Di dalam hatinya terdapat penyakit (hati), dan Alloh menambah penyakit mereka; dan mereka akan mendapat siksa yang pedih, karena berdusta (QS. Al-Baqoroh [2]: 10).

Perilaku orang yang berdusta itu, sering membuat kerusakan di bumi, tetapi mengatakan sedang membuat perdamaian (QS. Al-Baqoroh [2]: 11); mereka membuat kerusakan, tetapi tidak merasa (QS. Al-Baqoroh [2]: 12); dan apabila pada titik tertentu dikatakan kepada mereka supaya beriman, justru mereka mengatakan tidak akan percaya seperti orang-orang bodoh yang percaya, padahal dia sendiri yang bodoh dan tidak tahu (QS. Al-Baqoroh [2]: 13); apabila bertemu dengan orang beriman, mereka pura-pura mengatakan “beriman”; dan ketika sendirian mereka menuruti ajakan setan, dan di dalam hatinya “kami bersama kamu, tetapi sebenarnya aku mengolokmu” (QS. Al-Baqoroh [2]: 14).

Orang yang berdusta dengan mengejek itu akan dibalas Alloh, tetapi Allah membiarkan mereka dalam kedurhakaannya, dan akan diganjar mendapatkan kebingungan (QS. Al-Baqoroh [2]: 15). Orang seperti itu sedang membuat perdagangan menyingkiri petunjuk. Jelas mereka itu tidak beruntung dan tidak diberi petunjuk dengan perdagangannya (QS. Al-Baqoroh [2]: 16).

Perumpamaan orang seperti itu, oleh Al-Qur’an digambarkan, di antaranya dengan dua hal: sebagai orang yang tidak melihat, kalau petunjuk itu diibaratkan api yang dianyalakan orang dan menerangi sekitarnya, setelah itu Alloh mengambil api itu, dan orang itu dalam kegelapan. Karenanya mereka disebut tuli, bisu, dan buta, dan tidak dapat kembali (QS. Al-Baqoroh [2]: 17) di tengah kegelapan itu.

Perumpamaannya yang lain, kalau petunjuk itu sebagai hujan lebat dari langit ketika gelap gulita, ada petir ada kilat, justru orang seperti itu menutupi telinganya karena takut mati. Ketika kilat datang, hampir-hampir melenyapkan penglihatan mereka dan dia bisa berjalan melalui terangnya kilat itu, tetapi ketika kilat hilang dia diam. Tetapi Allah tidak menghilangkan pedengaran mereka terhadap kilat dan petir, karena Allah berkuasa untuk itu (QS. Al-Baqoroh [2]: 18).

Di antara orang jenis iman manis di bibir, orang seperti itu disebut juga dalam Al-Qur’an sebagai orang yang menyembah Allah hanya di tepian (ala harfin), ketika memperoleh sesuatu yang membuatnya senang dia tenang; dan ketika memperoleh tidak senang dalam dirinya, dia kembali ingkar di dalam hatinya. Orang yang seperti itu disebut rugi di dunai dan akhirat dan orang seperti itu mengalami kerugian yang nyata (QS. Al-Hajj. Ayat 22).

Di luar mereka adalah yang ingkar, sebagian ada yang berdamai dalam kehidupan sosial; dan sebagian ada yang memusuhi. Wallohu a’lam.

(Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *