Oleh: KH. Dr. Hilmy Muhammad
Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta dan Wakil Rais Syuriah PWNU DIY
Tafsir Surat al-Ma’idah (5) Ayat 75
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ، قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ. وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ. كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ
(Isa al-Masih, putera Maryam, tiada lain hanyalah seorang rasul utusan (Allah), yang sungguh telah didahului oleh para rasul sebelumnya. Ibunya, Maryam, adalah orang yang sangat benar dan jujur. Keduanya biasa memakan makanan…)
Ayat ini mengandung pengertian-pengertian yang sangat jelas, antara lain :
- Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang lain ‘alayhimus-salam, adalah orang-orang biasa yang memiliki kebutuhan dasar sebagai manusia, seperti makan, minum dan bercinta. Mereka hebat karena diangkat oleh Allah dan dianugerahi mukjizat guna membuktikan diri mereka sebagai utusan Allah.
- Keistimewaan atau kehebatan seseorang itu tidak boleh lantas menjadikan kita mengkultuskan atau menganggapnya bukan manusia biasa. Penghormatan dan cinta kita kepada siapapun: orangtua, anak, isteri, guru dan sahabat, harus tetap dalam batas-batas kemanusiaannya.
- Yang penting itu bukan Nabi Isa, Nabi Muhammad, Sunan Kalijaga, Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Munawwir, Mbah Ali atau siapapun, tapi yang penting adalah misi ketuhanan atau risalah Allah. Misi inilah yang mesti dilestarikan dan dilanjutkan oleh siapapun kita, kapan saja dan di mana pun kita berada. Ini menjadi tanggung jawab kita semua dalam batas-batas kemampuan dan peran kita masing-masing.
- Siti Maryam, ibunda Kanjeng Nabi Isa ‘alayhis-salam, disifati dengan “shiddiqah”, yang artinya “orang yang sangat benar dan jujur”. Sifat ini hanya berlaku bagi mereka yang teruji kejujurannya. Dan memang beliau benar-benar mempercayai tuhannya, dan beliau jujur dengan pengakuan bahwa anak yang dikandungnya tanpa campur tangan laki-laki. Pengakuan beliau ini dibenarkan oleh Allah dengang firman-Nya “shiddiqah”. Pernyataan bahwa Maryam ini “shiddiqah” juga menjelaskan keberadaan beliau sebagai orang yang beriman, bermakna, beliau sama sekali tidak patut dijadikan sebagai tuhan yang dikuduskan.
- Syarat menjadi Tuhan, sebagaimana disebut dalam surat al-Ikhlas (112) ayat 1 dan 2, sebenarnya simple dan sederhana, yaitu: (1) ahad (esa), dan (2) ash-shamad (menjadi tempat bergantung). Bermakna, siapapun yang menjadi Tuhan harus bisa mandiri, berkuasa penuh, merdeka, tidak sama dengan yang lain, tidak butuh siapapun, tidak bergantung pada apapun, dan malah bisa memenuhi hajat hidup semua makhluq. Sebaliknya, siapapun yang masih memerlukan makan dan minum, tidak pantas mengaku-ngaku sebagai tuhan, dan tidak patut dipertuhankan.
Wallahu a’lam bish-shawab