Merasakan Kehadiran Pak Lurah di Tengah Bencana Corona- Lurahku Bernama Wahyudi Anggoro Hadi
Ini Kepala Desa saya, Wahyudi Anggoro Hadi. Sudah populer pasti. Saya 4 tahun bertempat tinggal disini, juga mencabut berkas kependudukan dan saya mantapkan di sini. Dulu saya tahu sudah banyak teman yang saya kenal membantu beliau yang sebenarnya seangkatan kalau sama saya, beliau 97 Farmasi dan saya Sastra Yujiyem.
Saya sangat tahu beliau ini berprestasi ruarrrr biasa. Sebagai santri beliau ini selama saya tinggal di Kampung yang saya diami kalau pas di kantor menyempatkan takziah, kalau ada orang meninggal dan selalu memberikan sambutan dengan bahasa Jawa yang mlipit dan dibarengi dengan doa talqin yang fasih. Kompletlah.
Sudah lama juga saya diajak Gus Udin dari Rembang, kakak angkatan saya di filsafat, yang selama ini juga bantu-bantu Pak lurah untuk bergabung ngebantu apa yang bisa dilakukan. Tapi saya tahu kalau teman-teman yang bantu Pak Lurah itu bukan orang-orang standard, saya mengenal mereka adalah orang yang berpikir di luar kebiasaan.
Ketika wabah Corona terjadi, banyak yang gagap dan berpikir di luar himbauan pemerintah. Saya sendiri mencoba apa yang sebisa mungkin ada di lingkaran terdekat saya, memberi edukasi, mematuhi himbauan pemerintah, menyemprot dengan disinfektan rumah, workshop, kafe kemudian juga masjid yang jadi tempat ibadah orang-orang di kampung, memberikann edukasi dan contoh buat tetangga-tetangga di kampung. Memang tidak mudah, menghadapi bencana non bencana alam ini, barangnya tidak kelihatan tapi mematikan.
Bagaimana di kepala terutama tokoh-tokoh lokal masih menganut “karepe wudele dewe”, padahal pusat, Sultan dan Pemda sampai Pemdes sudah memberikan himbauan dan protokol tak kurang kurang. Tapi ya begitulah, kalau kita hidup komunal unsur-unsur akan kuasa sepotong ingin didengar kadang jadi godaan. Padahal warga itu ya sebenarnya manut-manut saja, tapi mereka bingung yang tokoh lokal ngomong begini, tapi instruksi pemerintah sebenarnya tidak ngomong seperti itu. Tapi itu pasti terjadi dimanapun, tidak hanya di desa saya.
Sejarah saya bertempat tinggal di kampung ini juga beriwayat dari bencana, ketika 2006 Jogja terjadi gempa bumi. Sewaktu itu saya masih bujang, kerja sebagai pekerja sosial di NGO. Kemudian ikut terjun di kampung-kampung untuk masa darurat sampai proses recovery. Ini jadi kampung saya kedua setelah tanah kelahiran saya di Alas Roban. Maka kehidupannya tak lebih dan tak.kurang seperti di kampung asal, saya mengenali tetangga-tetangga sudah seperti saudara di kampung, dulu saya bebas daei satu dan yang lain pasti ditawari makan minimal minuman dan jajan, sudah seperti kampung sendiri.
Ketika bencana Corona ini terjadi, saya membaca siklus 100 tahun penyakit pendemi Influenza dan terlibat diskusi dengan beberapa teman tentang jumlah korban, ngerih. Mereka yang jadi korban adalah masyarakat bawah yang mereka tentu saja serba kurang informasi dan sebagainya. Membaca hal seperti itu saya berpikir untuk “menyelamatkan” lingkungan terdekat dahulu. Maka apapun kita akan lakukan. Sebelumnya saya pasif dalam hal urusan-urusan pembicaraan perkampungan, karena saya tak.ingin menginterupsi budaya komunal yang otomatis akan membangun fungsi-fungsi ketokohan lokal. Asal masih dalam koridor kebaikan tentu kita akan dukung. Tetapi ketika melihat situasi yang menurut saya “membahayakan” keselamatan warga maka passif bukan lagi pilihan.
Saya tertarik ketika pertama kali dikirim Gus Udin, model pendataan lapor diri warga ke kelurahan, saya langsung menyatakan saya bergabung. Inovasi dan menempatkan keselamatan warga di atas semuanya betul-betul dipegang oleh Lurah saya ini. Saya mencoba mengikuti alur pikirnya. Orang ini menurut saya terlalu kecil jadi pemimpin desa. Ketika presiden ibundanya wafat, kita bisa merasa Presiden capek, lelah di tengah kerja menghadapi Corona beliau harus kehilngan satu tempat tumpunya. Tapi saya sebagai warga negara malah justru tidak was-was, coba kalau Presiden Jokowi mempunyai kaki birokrasi maupun pembantu-pembantunya seperti lurah saya ini, rakyat tidak merasa kehilangan pemimpin di saat krisis.
Lurahku memang hebat bagaimana dengan tempatmu? Lurahku serasa mengganti peran Presiden di kampung. Dalam cita Marhaenisme, saya melihatnya beliau paham sekali apa itu Marhaenisme sebetulnya.
Semoga artikel Merasakan Kehadiran Pak Lurah di Tengah Bencana Corona ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait di sini
kunjungi juga channel youtube kami di sini
Penulis: Markijok
Editor: Anas Muslim