Menyingkap Tanda Lailatul Qadar dan Hujan di Bulan Ramadhan

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar dan Hujan di Bulan Ramadhan

Menyingkap Tanda Malam Lailatul Qadar dan Hujan di Bulan Ramadhan.

Hujan di bulan Ramadhan di tengah pandemi virus Corona Covid 19 ini, bukanlah suatu fenomena alam biasa. Akan tetapi, sebuah berkah, rahmat yang sengaja diturunkan Allah swt untuk menghilangkan berbagai macam penyakit, termasuk wabah Corona Covid 19 dan sekaligus sebagai metafora turunnya Lailatul Qadar.

Allah swt menyebut hujan sebagai sesuatu yang diberkahi:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

“Kami turunkan dari langit air yang berkah (banyak manfaatnya) lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaf: 9).

Allah swt juga menyebut hujan sebagai rahmat:

وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِن بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

“Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji. ” (QS. as-Syura: 28).

Karena itulah Rasulullah saw, para sahabat, dan orang-orang soleh pada zaman dahulu sangat gembira dengan turunnya hujan dan mereka mengambil berkah dengan air hujan itu.

Anas bin Malik menceritakan, bahwa kami pernah kehujanan bersama Rasulullah saw. Lalu beliau menyingkap bajunya, mengguyurkan badannya dengan hujan. Kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah saw, mengapa baginda melakukan demikian?” Jawab Rasulullah saw:

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena hujan ini baru saja Allah swt ciptakan.” (HR. Ahmad).

Mengomentari ini, al-Qurthubi mengatakan bahwa praktek Rasulullah saw menunjukkan bentuk tabarruk (ngalap berkah) dengan hujan dan menjadikannya sebagai obat. Karena Allah swt menyebut hujan dengan rahmat, mubarok (berkah), dan thahur (alat bersuci). Lihat al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Shahih Muslim, 2/546.

Dalam keterangan lain, Rasulullah saw juga pernah secara sengaja menghujankan dirinya ketika khutbah di masjid. Kemudian sebagaimana diceritakan Anas bin Malik, beliau tidak turun dari mimbarnya hingga air hujan menetes dari jenggot beliau. (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar menilai bahwa tindakan Rasulullah saw menghujankan dirinya adalah suatu kesengajaan dan bukan kebetulan. Karena andai beliau tidak sengaja, tentu beliau akan menyelesaikan khutbahnya ketika mendung, kemudian berteduh. Namun, beliau terus melanjutkan khutbahnya ketika hujan turun, sampai membasahi jenggot beliau. (Lihat Fathul Bari, 2/520).

Senada dengan hal ini, lbnu Thawus ra meriwayatkan bahwasanya ketika sekelompok shahabat sedang duduk, Rasulullah saw masuk kepada mereka sambil mengucapkan salam, mereka jawab salam beliau. Lalu beliau berujar, “Apakah kalian mau aku ajari satu pengobatan yang telah diajarkan Jibril as kepadaku sehingga aku tidak butuh kepada pengobatan dokter?” Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan yang lain balik bertanya, “Pengobatan apakah itu?”

Nabi saw menjelaskan, “Ambilah air hujan di bulan Naisan (April) dan bacalah al-fatihah, ayat kursi, al-ikhlas, an-nas, al-falaq, dan al-kafirun masing-masing tujuh puluh kali.”

Diriwayat lain ditambahkan surah al-qadar tujuh puluh kali, allahu akbar tujuh puluh kali, la ilaha illallah tujuh puluh kali, dan shalawat tujuh puluh kali. Lalu minumlah air itu di waktu pagi dan malam selama tujuh hari berturut-turut.

Demi Tuhan yang telah mengutusku sebagai nabi, sesungguhnya Jibril as berkata, “Sesungguhnya Allah swt akan menyembuhkan orang yang minum air ini dari setiap penyakit dan mengeluarkan penyakit itu dari badannya, tulangnya, dan semua anggota tubuhnya. Allah swt pun akan menghapus penyakit yang sudah tertulis baginya di Lauhul Mahfuzh.”

Demi Tuhan Yang telah mengutusku sebagai nabi, jika orang tersebut tidak dikaruniai anak, lalu meminum air itu, maka ia akan dikaruniai anak. Jika orang tersebut perempuan mandul, maka Allah swt akan memberikan anak kepadanya. Jika la ingin mengandung anak laki-laki atau perempuan, pasti ia akan hamil demikian karena Allah swt telah berfirman dalam al-Qur’an:

يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا

“Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa Yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa Yang Dia kehendaki, atau menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) Yang dikehendaki-Nya, dan menjadikan mandul siapa Yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49-50). Lebih detail lihat Syeikh Abbas al-Qummi dalam kitab Mafatihul Jinan.

Tidak hanya sebagai rahmat, berkah atau pun obat, hujan di bulan Ramadhan juga sebagai sebuah metafora turunnya Lailatul Qadar. Rasulullah saw pernah menjelaskan kepada para sahabat yang lagi menunggu datangnya Lailatul Qadar, beliau menegaskan: “Sungguh malam yang kalian tunggu-tunggu akan datang, karena aku telah melihat dalam mimpi bahwa akan ada hujan lebat kemudian aku belepotan tanah lumpur dan basah kuyup oleh air”. Lantas, umat yang lagi berkumpul itu pun membubarkan diri.

Adalah benar bahwa pada malam itu, sebagaimana diriwayatkan Abu Said al-Khudri terjadi hujan lebat. Karena bangunan masjid Nabawi masih sangat sederhana, hanya beratapkan pelepah kurma, maka air hujan pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah. Lalu, Rasulullah saw shalat bersama kami dan dalam kondisi basah kuyup, pada saat sujud kening dan hidungnya kotor dengan air dan tanah liat. (HR. Bukhari Muslim).

Lantas, apa yang dimaksud dengan Lailatul Qadar itu karena Rasulullah saw hanya mengatakan, “Itulah yang kalian tunggu-tunggu.” Sekali lagi, karena memang persoalan tersebut adalah persoalan mistis dan metafisik, maka tidak ada kata-kata yang cukup untuk bisa menjelaskannya.

Di sinilah muncul masalah tafsir atau semiotika, bahwa belepotannya Rasulullah saw dengan lumpur dan basahnya beliau oleh air saat sujud sebenarnya adalah suatu simbol, perlambang, dan penjelas bagi umat Islam. Jenjang atau maqamat paling tinggi dari pengalaman spiritual seseorang itu adalah ketika bisa menyadari jati dirinya, asal muasalnya, dan tempat kembalinya. Kita berasal dari tanah (Adam as) dan anak keturunannya dari air mani.

Ini sesuai dengan firman Allah swt, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (QS. As-Sajadah: 7-8). Dan, “Kembalilah kamu semuanya kepada Tuhanmu, dan pasrahlah kepada-Nya “. (QS. Az-Zumar : 54).

Dengan demikian, kita harus kembali menyadari diri kita hina seperti tanah yang diinjak-injak dan kotor. Begitu pula seperti air mani yang menjijikkan, sehingga tidak pantas kita membanggakan diri secara berlebihan. Kedudukan, status sosial, kekayaan, ketampanan, kecantikan, atau pun keelokan wajah kita tidak ada artinya dihadapan Allah swt, karenanya kita bersujud di tanah becek dengan air sebagai simbol penghambaan dan kerendahan diri kita.

Kesadaran seperti inilah yang disebut man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu dan dihargai Allah swt lebih baik dari pada seribu bulan lainnya. Jadi, dalam menggapai malam Lailatul Qadar, jangan hanya berhenti pada tataran rutinitas formal, sebagai misal: i’tikaf dengan tidak tidur semaleman di sepuluh malam terakhir Ramadhan, menunggu penampakan turunnya malaikat secara fisik, menunggu angin yang sepoi-sepoi, menunggu matahari bersinar redup, dll. Lebih jauh lagi kita harus berusaha menemukan jati diri kita sebagai entry point menemukan Tuhan kita.

Demikian tentang Menyingkap Tanda Lailatul Qadar dan Hujan di Bulan Ramadhan, semoga manfaat. Wallahu A’lam.

Al-Faqir ila Rahmatillah.

(Masruchin Muzammil).

*Tulisan asli berjudul Pesan Sufistik Hujan & Metafora Lailatul Qadar

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *