Oleh: Dr Ahmad Salehudin, dosen UIN Sunan Kalijaga.
Sebelum saya lebih lanjut mengomentari disertasi AA yang jadi polemik luar biasa itu, saya ingin mengatakan begini: “Menulis disertasi itu 10 kali lipat lebih berat dari menulis tesis dan 100 kali lipat lebih berat dari menulis skripsi.”
Demikian kira-kira yang saya rasakan saat menulis disertasi di ICRS Yogyakarta. Dan saya “lulus” karena ditolong dan dibantu oleh orang-orang hebat, seperti toen goeroe Moch Nur Ichwan, pak Dicky Sofjan Ph.D, ibu Syamsiatun, Ph.D., toean goeroe Zainal Abidin Bagir pH.D., mas Samsul Maarif, pH.D, Dr Nina Mariani Noor dan banyak yang lain.
Apakah orang yang menghujat disertasi AA sudah pernah menulis disertasi? sudah pernah menulis tesis? atau sudah pernah menulis skripsi? Ketika saya menulis disertasi, ragam penyakit antri, seperti darah tinggi, magh, dan asam lambung. Pernah suatu malam saya tidak bisa bergerak sama sama sekali karena tubuh seperti terbakar. Kalau sakit kepala itu mah biasa saja, makanya ada guyonan PhD itu permanen head damage hahha. Oleh karena itu, selamat kepada mas AA yang berhasil menyelesaikan disertasinya.
Apakah mereka yang mencaci maki AA sudah membaca disertasinya setebal 300 halaman lebih itu? Atau jangan-jangan hanya membaca berita dan/atau meme sepotong-sepotong yang beredar di medsos? Makanya saya mengamini komentar seniorku mas @ahmad suaedy di group wa, “Disertasi baru diuji sudah diulas demikian rupa dengan sepotong-potong pasti orang sok paling pinter dan seringkali sok moralis.”
Seperti sahabatku Arif Maftuhin, saya tidak berani merespon berita yang beredar atau meme yang tersebar, serta pertanyaan-pertanyaan kawan melalui chat WA, karena belum membaca disertasi. Dua hari lalu saya mendapatkan Pdfnya. Semalam saya membaca disertasi 300 halaman lebih tersebut dengan agak cepat, dan baru pagi ini yang berani mengomentarinya.
Menurut saya, terlepas dari “kesimpulan” yang menimbulkan kehebohan, disertasi ini luar biasa. Penulisnya memiliki kemampuan untuk mengakses kitab-kitab yang mungkin tidak semua orang yang menghujatnya mampu melakukan. Termasuk saya.
Setelah membacanya, komentar saya, nampaknya disertasi ini belum selesai. Disertasi itu masih berkutat “seperti menjadi jubir Syahrir” saja, tidak lebih. Saya belum menemukan hal baru yang disajikan. Seandainya ada satu bab lagi, pasti ini menjadi disertasi yang luar biasa. Apa satu bab itu, embuh.. hahhaha
Dengan kata lain, disertasi itu belum ejakulasi tapi harus dibuat kesimpulan. Mengapa demikian, ya mungkin karena waktu menulisnya sudah habis. Hal ini juga yang saya alami ketika menulis disertasi. Ketika ketemu supervisor dan penguji kelayakan, saya mengatakan, “sebenarnya disertasi ini harus satu bab lagi, cuma karena tidak ada waktu lagi, saya segera tulis kesimpulannya”.
Mengapa saya katakan disertasi AA belum selesai? Ada dua alasan:
Pertama, pembahasan di bab IV terasa terengah-tengah, berbeda dengan bab 1 dan 2, yang mengalir lancar.
Kedua, kritik pada Syahrur yang hanya 1 sub bab di bab IV itu secara jelas menunjukkan bahwa disertasi ini harus segera selesai. Padahal dengan mengeksplorasi lebih jauh pasti akan ada sumbangan baru yang disampaikan, bukan hanya kehebohan, hehhe
Demikian dulu ngaji subuh ini, insyaallah besok pagi setelah salat Hajat saya tulis lanjutnya. Namun, sebagai catatan penutup saya ingin kutipkan pendapat seorang ulama Saudi yang dikutip dalam disertasi AA, kira-kira sebagai berikut:
“Menurut ulama Saudi Syaikh Salih Al Fauzan, perbudakan adalah bagian dari Islam. Perbudakan adalah bagian dari jihad, dan jihad akan terus ada selama Islam masih ada. Mereka yang menolak gagasan ini sebagai orang-orang goblok, dan bukan ulama.”
Ini pendapat ulama Wahabi itu lho, bukan AA. hehehe..