Menjadi Mukmin Paripurna dengan Mencintai Saudaranya

ahmad suhendra

Oleh: KH Ahmad Suhendra, M.Hum., dosen STISNU Nusantara Tangerang.

Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Baru lahir saja, bayi membutuhkan orang lain untuk membantunya keluar, menyelimuti dan membersihkannya. Begitu juga saat menjalani kehidupan tentunya membutuhkan orang lain. Kehidupan akan berjalan dengan  aman dan damai jika persaudaraan terjaga. Islam sering menganjurkan umatnya untuk menjaga tali persaudaraan. Makanya, kita perlu memahami prinsip keagamaan.

Karenanya, menjadi seorang muslim idealnya memberikan ketenangan, perdamaian dan persaudaraan. Itulah yang dianjurkan pembawa risalah terakhir ini, Nabi Muhammad saw. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Nu’man bin Basyir dalam kitab Syarah Riyadhush Shalihin berikut.

وعن النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال‏:‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏”‏ مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى” ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏

Wa ‘an an-Nu’man bin Basyir radhiyallah ‘anhuma qala. Qala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mitslul mu’minina fi tawaddihin wa tarahumihim wa ta’athufinim mitslul jasadi, idzasytaka minhu ‘udhwun tada’a lahu sairul jasadi bis sahar wal humma.

Artinya:

“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [Mutafaqun ‘Alaih]

Dalam kitab itu jelaskan bahwa sikap saling mencintai (توادهم) adalah bentuk cinta yang ada dalam hati kepada sesama muslim. Cinta yang tulus ini sebagai salah satu bentuk kesempurnaan keimanan bagi orang Islam. Iman dan cinta ini saling berkaitan satu sama lain. Orang belum sempurna imannya, jika belum bisa tumbuh rasa cinta dalam hati terhadap saudaranya sesama muslim. Tujuan adanya syariat adalah agar terjalin persaudaraan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dinyatakan bahwa orang yang suka menyakiti dan mengganggu saudaranya imannya belum sempurna.

عَنْ أَنَسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَــــــــارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

‘An Anasin, ‘anin nabiyyi shallallhu ‘alaihi wa sallam qala walladzi nafsi biyadihi la yu`minu ‘abdun hatta yuhibbu lijarihi ma yuhibbu linafsihi

Artinya:

Dari Anas Dari Nabi saw, bersabda, “Demi Allah, belum beriman (dengan sempurna) seorang hamba hingga ia mencintai tetangganya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”

Hadis di atas menegaskan pentingnya memberi perhatian pada tetangga dan saudaranya. Tetangga ini mencakup banyak kategori, bisa kerabat atau bukan. Bisa tetangga muslim maupun non muslim. Tetangga tidak dibatasi oleh ikatana kekerabatan, agama, ras mapun suku bangsa.

Tak bisa disangkal, menjadi seorang muslim harus bisa menghargai persaudaraan. Tidak hanya saudara seiman melainkan juga saudara sebangsa, setanah air dan saudara sesama keuturunan Adam.

Ketika seseorang mencintai tetangganya karena Allah, maka ia akan membangun kehidupan bermasyarakat yang memiliki suatu tatanan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Sehingga yang dimaksud mencintai seperti mencintai dirinya sendiri ialah apapun yang dirasakan oleh tetangga maka kita akan merasakannya baik itu kebahagiaan ataupun kesusahannya.

Demikian pentingnya menjaga persaudaraan, sampai seorang tabi’in terkenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri (w. 101 H) meriwayatkan, “engkau berjalan untuk memenuhi keperluan saudaramu sesama muslim adalah lebih baik bagimu dari haji sunnah.” Ucapan Hasan Al-Bashri menggambarkan begitu besarnya apresiasi Islam dalam membangun hubungan antara umat manusia yang hamonis. Adanya rasa simpati dan empati melahirkan saling tolong dan membantu satu sama lain. Tentu rasa itu tidak akan ada jika di dalam hati kita tidak ada rasa cinta.

Menjadi muslim kaffah (paripurna) memang tidak sebatas menyempurnakan ibadah dan ilmu, tetapi juga menyempurnakan akhlak atau etika. Bersikap baik kepada semua orang tanpa melihat latar belakang ras, suku, jabatan, maupun agama itu tidak mudah. Tapi dengan cinta akan menunjukkan cara menghormati semua makhluk Allah.

Sebab itu, tak sepatutnya seorang muslim melakukan provokasi, mencaci, menfitnah dan sebagainya. Karakter itu tidak sesuai dengan karakter dalam agama Islam itu sendiri. Para ulama terdahulu sudah memberikan tauladan untuk berbuat baik sesama manusia. Dengan membuat orang lain senang dan bahagia itu menjadi bagian dari ibadah. Ibadah dalam Islam tidaklah sesempit pemahaman kita hanya pada aspek rutinitas shalat, zakat, puasa dan haji semata. Sisi lainnya, Islam juga mengajarkan ibadah kamanusiaan (hablum minan nas).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *