Menjadi Ibu Nyai itu Berat, Maka Saya Berikrar Untuk Tidak Jadi Ibu Nyai!!

REFLEKSI SILATNAS BU NYAI NUSANTARA: Mendengarkan Kisah Bu Nyai

Cerita singkat ini untuk mengapresiasi acara Silatnas Bu Nyai Nusantara yang baru saja usai (13-14 Juli 2019). Saya acungi jempol kegiatan itu karena berguna untuk menambah dan menguatkan bu nyai mendidik santri, apalagi ada materi tentang radikalisme.

Karena memang bu nyai menurut pengamatan pribadi saya adalah tonggak penting dalam ngopeni (mengasuh) santri. Alasan saya sederhana, Bu nyai adalah pribadi yang telaten, sabar, dan sedikit “cerewet” dalam ngurusi santri sehari-hari yang mungkin terlihat ringan tapi sebetulnya berat. Kisah di bawah ini membuktikan pernyataan saya (saya pastikan masih banyak kisah dari para bunyai lain yang lebih “dahsyat” dalam ngopeni santri).

Ning Nyai ini adalah salah satu peserta Silatnas. Saya bertanya baru-baru ini apa kegiatannya sebagai salah satu pengasuh di sebuah pesantren. Berikut poin poin jawabanya.

1. Ada wali santri yang melapor urusan rumah tangganya akibat kawin muda. Naifnya, lapornya di hadapan santri yang tidak lain adalah anaknya sendiri. Tentu Ning Nyai kaget dan harus mutar otak untuk selesaikan masalahnya.

2. Ada wali santri bilang belum bisa membayar untuk pembelian lemari kecil yang tidak seberapa, padahal wali santri itu sudah lunas membayar kebutuhan sekolah yang lebih besar. “Penomorduaan” ini tidak menjadikan ning nyai sewot, tapi tetap diladeni dan diberi solusi.

3. Ada wali santri lawas yang datang bersama putrinya dan minta dicarikan jodoh. Maka Ning Nyai telpon sana sini sebagai ikhtiyar mencarikan jodoh.

4. Ada santri putri baru yang lari dari pondok sepulang dari sekolah formal. Tentu para pengurus pondok bingung, maka dicari info, ketemulah di rumah mbah si santri baru itu. Besoknya si santri baru bersama orangtuanya pengen pindah di asrama pondok lain yang ada teman lawasnya. Maka dibuatkan surat pindah ke tempat asrama pondok yang dituju, tapi ternyata pondok yang dituju tersebut telah penuh, maka dengan terpaksa anaknya dibawa pulang. Ning Nyai mendengar itu langsung menelpon ortu wali santri dan akan dicarikan asrama di pondok lain, yang penting tetap mondok.

5. Telaten membelajari totokromo santri. Semisal saat bincang-bincang pagi di teras yang saya sendiri terlibat. Lalu ada santri mau berangkat sekolah dan saya iseng bertanya, apa sudah makan, jawabnya “mpun”. Si Ning Nyai bilang, “Eh jawab dengan sampun, jangan mpun” kurang alus.” Itu contoh telaten mengajari tetek bengek ahklak santri yang tentu tidak terpikirkan oleh sebagian orang, termasuk saya. Belum lagi santri yang asal Jakarta dan luar Jawa yang sediikit demi sedikit diajari bahasa Jawa karena berguna untuk belajar maknani kitab kuning.

6. Tidak ketinggalan kegiatan cek santri baru terkait bacaan dalam sholat. Terkadang ada santri baru yang hanya hafal fatihah, sedang bacaan yang lain gratul-gratul. Hal seperti juga perlu disisir oleh Ning Nyai dibantu santri senior.

****

Demikian sepenggal kisah yang saya dapatkan seminggu ini. Itu belum lagi kegiatan harian seperti ngajar ngaji Alquran dan kitab kuning, dan memimpin sholat berjemaah. Juga kegiatan spiritual baik tahajud, puasa sunnah dan membaca amalan amalan rutin para bu nyai yang ditujukan agar santrinya baik.

Intinya menjadi bu nyai itu berat. Maka saya berikrar untuk tidak menjadi bu nyai….. hehehe

Penulis: Ainur Rofiq Al Amin, Tambakberas Jombang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *