Menjadi Adam

Perbedaan Antara Iblis dan Nabi Adam

Oleh: Achmad Munjid, mantan Ketua PCI NU Amerika, dosen UGM.

Tahu kenapa dulu Nabi Adam harus ditundung keluar dari surga?

Itu bukan kecelakaan, juga bukan tanpa rencana.

Biar ia dan anak cucunya nggak manja, biar ia mendapat apa yang diinginkannya dengan bekerja, biar ia bisa bergaul dengan sesama makhluk lain dan bisa memetik pelajaran dari sana, biar kita bisa bertindak dan menerima konsekuensinya, biar pikiran dan hati ini terasah; ya, biar kita menjadi manusia.

Dunia ini bukan surga. Tidak semua yang diinginkan bisa kita peroleh. Tidak semua yang tak diinginkan bisa kita singkirkan.

Makanya, sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan bersikap fair dengan mengucapkan “magic words”: please, thank you, silakan, terima kasih, maaf… supaya relasi kita dengan orang lain bernilai positif dan kehidupan ini terasa lebih lapang.

Termasuk terbiasa mengucapkan “selamat”!

Dalam setiap kompetisi, orang yang paham sportivitas tahu belaka, meski ia berjuang habis-habisan untuk menang di arena pertandingan, hasil akhir tidak bisa ditentukan sebelum permainan dan kita harus siap dengan segala kemungkinan. Jika kita kalah setelah berusaha menjadi yang terbaik, itu artinya memang ada yang lebih baik dari kita dan kita harus menerimanya, antara lain dengan mengucapkan “selamat” kepada sang juara.

Jika kita tidak bisa berbuat demikian artinya kita sedang menolak “menjadi Adam”, kita menolak berhadapan dengan kenyataan, kita menolak menjadi manusia. Tapi ya itu, bukan cuma kakalahan yang kita alami tidak akan berubah hanya karena kita tak mau menerimanya, ia bahkan menjadi lebih pahit.

Dunia ini memang bukan surga. Tapi, jika kita tidak bisa berhadapan dengan kenyataan, sebetulnya kita justru sedang mengubahnya menjadi neraka.

Mau begitu?

Selamat!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *